Posts

My 2023 So Far

Ternyata musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Diri sendirilah sumber masalah terbesar. Diri sendirilah yang memaksa diri sendiri untuk berpikir terlalu jauh, lalu khawatir sendiri, minder sendiri. Membawa beban untuk diri sendiri. Hidupku baik-baik saja sebelum aku banyak berpikir. Diriku sendiri yang membawa beban yang tak perlu di hidupku yang sebenarnya sudah terberkati dengan privilege-privilege yang kupunya.  Tahun ini, akhirnya aku dapat menebus kegagalanku di masa lalu. Aku kembali bekerja sebagai budak korporat, tidak lagi di bawah ketek bokap, persis seperti keinginanku. Namun apakah aku bahagia? Apakah aku menikmatinya? Apakah aku merasa 'akhirnya, inilah hidup yang kuinginkan!'. Tidak juga.  Kekhawatiran-kekhawatiran dan permasalahan baru tetap saja muncul ke permukaan, dan aku mulai merindukan hidupku yang lama. Hidupku telah begitu nyaman, entah mengapa aku membawa membawa diriku keluar dari ketidaknyamanan itu hanya karena aku tidak mau melabeli diriku sebagai

thank you for the lesson, 2022

Terlambat 25 hari untuk menuliskan ini, namun tak apa. Di waktu yang seharusnya aku menuliskan ini, aku sedang berada di rumah sakit. Bergelut dengan rasa takut, khawatir, sedih, sesal, bercampur aduk dengan sempurna di pikiranku. Saat itu ayahku sedang berada di ICU karena serangan jantung.  Saat itu tanggal 25 Desember 2022. Seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Kami sekeluarga tengah berada di Yogyakarta untuk merayakan Natal. Kami menginap di salah satu hotel berbintang empat. Kedua orang tua, kakak perempuan, serta kedua orang ponakan, kami bersenang-senang di hari sebelumnya, seolah tak ada apapun terjadi. Pagi itu jam 6 pagi, aku tertidur dari tidurku karena suara alarm di ponselku. Aneh, mengapa tak ada yang membangunkanku untuk berangkat misa Natal? Apakah aku tidak bangun ketika dibangunkan? Aku beringsut menuju kamar kedua orang tuaku melalui connecting door. Namun aku tak menemukan mereka di sana. Apakah mereka juga terlambat bangun sehingga buru-buru berangkat ke gere

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

Image
Tuhan memang selalu baik. Padahal hambanya tidak henti-hentinya melakukan dosa. Dikirimkannya aku seseorang yang mampu menghapus tangis dan kesedihanku yang menahun. Ia buang trauma dan ketakutanku. Ia membuatku bangkit lagi. Menyatukan kembali kepingan-kepingan kepercayaan diriku yang pernah hancur. Yang meyakinkan aku kembali bahwa aku layak untuk dicintai dengan demikian tulus. Ia membuatku merasa demikian berharga.  Ia yang selalu melihat diriku sempurna dengan segala yang ada padaku. Ia yang selalu melihat segala kelebihanku dengan segenap kekurangan yang kupunya. Ia yang membuatku kembali merasakan jatuh cinta dan menangis bahagia lagi karena cinta. Ia yang tidak pernah marah ketika aku marah. Ia hanya diam dan mendengar kemarahanku, tanpa pernah balik marah, tanpa pernah dibahasnya lagi, hingga kemudian aku yang meminta maaf dan ia hanya dengan tulusnya berkata tidak apa-apa.   Ia yang selalu memberikan pelukan yang hangat untuk tempatku bersandar dan menangis.  Ia yang selalu m

Resolusi Di Akhir 2021: Bersahabat dengan Kegagalan

Hello! Siapapun kalian yang sedang membaca tulisan ini, mungkin suasana hati kalian sedang tidak baik. Hidup memang tidak harus selalu mulus kok. Terkadang hidup demikian terjal, berliku, melewati tikungan tajam, naik, dan turun, namun pada akhirnya terlewati juga tikungan demi tikungan. Kalian semakin paham medan, kalian semakin terlatih, hingga pada akhirnya semua rintangan-rintangan itu begitu saja kalian lewati tanpa sadar.  Di penghujung tahun 2021 ini, usia saya 27 tahun. Lima bulan lagi, akan berganti menjadi 28 tahun. Semakin tua, semakin berumur. Di usia yang kesekian ini, saya sudah banyak melakukan kesalahan dalam hidup. Terlalu arogan, terlalu percaya diri, terlalu sombong, terlalu idealis, terlalu naif, hingga pada akhirnya berulangkali mengambil keputusan-keputusan yang salah dalam hidup.  Kesalahan-kesalahan yang bila dipikirkan terus, bisa jadi tak akan ada hentinya saya terus menerus menyesal, meratapi kebodohan-kebodohan di masa lalu. Berkali-kali saya maafkan diri se

Here Lies Memories

Suatu sore di awal tahun 2000an, aku sedang menerbangkan layang-layang di hamparan sawah, aku melamunkan masa depan. Pikiranku melayang, seiring dengan layangan yang melayang-layang terhempas angin. Aku membayangkan diriku yang sudah dewasa. Bagaimana wujudku pada saat aku dewasa? Akankah aku pergi bekerja setiap hari? Akankah aku punya uang sendiri? Bisa membeli apapun yang aku mau tanpa merengek pada orang tua?  Bertahun-tahun kemudian, aku tepat menjadi sosok yang kerap hadir di angan-anganku. Karena terlalu sibuk dengan kehidupan, kadang kita lupa. Bahwa apa yang ada di sekeliling kita saat ini adalah perwujudan dari mimpi-mimpi sederhana kita saat kecil. Di masa kecilku, aku adalah anak laki-laki yang selalu ingin tahu segala hal. Aku ingat, buku favoritku adalah RPUL, kamus, dan atlas. Tak pernah bosan buku-buku itu kubaca berulang kali. Meski bersekolah di desa, aku tahu segala hal, aku tahu dunia luar. Aku hapal semua ibukota negara di dunia, letak geografis

keep being good, and all the goodness will come around

Entah bagaimana. Kami dapat menjadi begitu akrab. Saling melengkapi dan mengisi satu sama lain. Seringkali kami memiliki pemikiran yang sama terhadap suatu hal. Sehingga kami berpikir bahwa tanpa mengucapkan sepatah katapun kami sudah tahu apa isi di kepala masing-masing. “Mungkin kita ini memang saudara kembar di kehidupan sebelumnya,” begitu yang kerap ia lontarkan. Kemudian kami akan tergelak-gelak bersama. Seringkali aku melupakan satu hal, aku lupa bahwa ia adalah bosku. Namun hubungan kami bukan seperti bos dan karyawan. Lebih dari sekadar teman. Lebih dari sekadar sahabat. “Sudahlah Mario, di sini aja. Kamu butuh apa? Tante bisa bantu kamu. Asal kamu tetep di sini.” Begitu mama cicik membujukku melalui telepon pagi itu. Nampaknya cicik bercerita pada papa dan mamanya bahwa aku akan pergi. Setiap hari, tante tak pernah lupa membawakan aku bekal makan siang, buah-buahan, dan kue-kue yang sudah dikemas rapi. Tak henti-hentinya aku berpikir, “Mengapa ia begitu sempat m

"I'll stay for you. I promise."

"Maaf, Pak. Saya sudah putuskan saya belum bisa untuk jadi Manager di perusahaan bapak. Saya mau stay di sini dulu." Kataku melalui telepon pagi itu. "Maksudnya gimana, Mas? Mas Mario mau kita tunggu sampai kapan? Kita bisa tunggu sampai Mas Mario siap kok. Kalau bulan ini belum, bulan depan gak masalah." "Eh. Bukan, Pak. Maksudnya saya batalkan untuk jadi Branch Manager di perusahaan bapak. Mohon maaf sekali sebelumnya, dan terima kasih banyak ya, Pak. Sudah mempercayakan jabatan pada saya.." "Oh, begitu. Baik, gapapa, Mas." Telepon terputus. Aku baru saja mengecewakan satu orang. Dan baru saja mengecewakan impianku sendiri. Sementara ia, yang kupanggil cicik, seseorang yang duduk di sampingku, tersenyum lega. Beberapa hari yang lalu, usai mendapat kesempatan interview untuk posisi Branch Manager dan akhirnya diterima, aku begitu bersemangat. Aku akan menjadi seorang Branch Manager! Aku bisa membungkam mulut orang-orang yang