thank you for the lesson, 2022

Terlambat 25 hari untuk menuliskan ini, namun tak apa. Di waktu yang seharusnya aku menuliskan ini, aku sedang berada di rumah sakit. Bergelut dengan rasa takut, khawatir, sedih, sesal, bercampur aduk dengan sempurna di pikiranku. Saat itu ayahku sedang berada di ICU karena serangan jantung. 

Saat itu tanggal 25 Desember 2022. Seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Kami sekeluarga tengah berada di Yogyakarta untuk merayakan Natal. Kami menginap di salah satu hotel berbintang empat. Kedua orang tua, kakak perempuan, serta kedua orang ponakan, kami bersenang-senang di hari sebelumnya, seolah tak ada apapun terjadi.

Pagi itu jam 6 pagi, aku tertidur dari tidurku karena suara alarm di ponselku. Aneh, mengapa tak ada yang membangunkanku untuk berangkat misa Natal? Apakah aku tidak bangun ketika dibangunkan? Aku beringsut menuju kamar kedua orang tuaku melalui connecting door. Namun aku tak menemukan mereka di sana. Apakah mereka juga terlambat bangun sehingga buru-buru berangkat ke gereja tanpa membangunkan kami? Sedih dan kecewa karena aku melewatkan misa Natal tahun ini, namun yah sudahlah, aku bisa menghadiri misa Natal sore nanti. 

Aku kembali beringsut untuk membuat secangkir kopi dan menikmatinya sembari melihat ke luar jendela, hujan rintik-rintik tengah mengguyur kota Yogyakarta di hari Natal pagi ini. Namun sebuah notifikasi menghancurkan suasana pagi itu. Dunia serasa runtuh. Yang kulihat hanya kepahitan. Mengetahui kabar bahwa orang tuaku tidak pergi ke gereja pagi itu, namun ibu mengantar ayah yang mengalami serangan jantung dan langsung dilarikan ke ICU. 

Aku anak yang cuek dengan gengsi yang tinggi, namun di hari itu aku melupakan gengsi. Aku menangis sesenggukan di depan pintu ruang ICU. Kami tidak diperbolehkan masuk. Kurang dari 12 jam yang lalu, kami sedang bepergian, bersenang-senang, bahkan ayahku masih off-road menyusuri tepi sungai bersama kami. Dan saat ini yang kami lihat hanya selembar baju, celana jeans, jam tangan, dan sandal yang dikembalikan oleh suster sesaat setelah ranjang ayah didorong masuk ke dalam ruang ICU. 

Kami hanya diperbolehkan masuk untuk menengok keadaan ayah hanya ketika menyuapi untuk makan. Tanganku bergetar ketika menyuapi ayah. Bergetar karena menahan tangis. Aku tak bisa melihat kondisi ayah selemah itu dengan selang-selang di tubuhnya. Ayahku bertubuh tinggi, besar, dan gagah. Ia selalu kuat. Ia atlit bela diri dan pecinta alam. Namun saat itu ia hanya tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Untuk makan dan minum saja ia harus disuapi. Tak hanya mengalami serangan jantung, namun ayah juga mengalami komplikasi diabetes dan hipertensi.

Yang terbayang pada saat itu ialah saat-saat bersama ayah pada saat aku kecil. Ayah selalu memberikan apa yang kami inginkan meski kami hidup pas-pasan, ayah tidak pernah membiarkan kami ketinggalan tren yang sedang menjadi hype anak-anak di jaman itu. Ayah tidak ingin kami kuper. Maka dengan segala kekurangan, ia senantiasa berusaha memberikan yang terbaik untuk kami. Berlangganan majalah Bobo, Fantasi, membelikan kami komputer, tentu terbilang hal mewah di jaman itu. Semakin aku terbayang, semakin pula air mataku jatuh bercucuran. Aku lupa, bahwa seiring aku yang semakin dewasa, ada ayah dan ibu yang semakin menua. 

Beberapa hari kemudian, ayah masih berada di ICU. Bahkan ayah sempat mengalami gagal napas hingga harus dibantu ventilator. Pada saat itu aku hanya bisa pasrah. Yang kupikirkan pada saat itu adalah sebentar lagi aku akan menjadi yatim. Sebentar lagi perusahaan milik ayah di bawah kendaliku, yang kupikirkan adalah bagaimana caranya supaya perusahaan tetap berjalan walaupun tanpa ayah. Dalam keputusasaan dan air mata, aku berdoa di tengah malam. "Jangan sekarang, beri saya waktu. Beri saya waktu untuk menebus kesalahan terhadap ayah. Beri saya waktu untuk menjadi anak yang baik. Saya tidak siap kalau sekarang"

Lagi-lagi Tuhan mengabulkan doa, hari demi hari ayah berangsur membaik. Tubuhnya yang semula pucat, berangsur cerah kembali. Bahkan ayah diperbolehkan pulang. Ayah kembali pulang ke Semarang dan berkumpul kembali bersama keluarga. Berat badan ayah berkurang drastis, dan harus mendapatkan suntik insulin setiap kali akan makan. Ayah juga masih tergolek lemah di ranjang beberapa hari untuk pemulihan. Namun aku bersyukur hal yang kutakutkan tidak terjadi. Aku tidak tahu bagaimana tanpa ayah. Yang kutahu ayah akan hidup selamanya, tak pernah kubayangkan akan ada hari di mana aku tak lagi hidup bersamanya. 

Penutup tahun 2022 dan pembuka tahun 2023 yang sarat pelajaran. Tak ada euforia terompet dan mercon. Tak ada wishlist, tak ada revolusi. Karena wish satu-satunya hanyalah ayah kembali berkumpul dengan kami. 

Comments

Popular posts from this blog

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

My 2023 So Far

the best job...ever