Here Lies Memories


Suatu sore di awal tahun 2000an, aku sedang menerbangkan layang-layang di hamparan sawah, aku melamunkan masa depan. Pikiranku melayang, seiring dengan layangan yang melayang-layang terhempas angin. Aku membayangkan diriku yang sudah dewasa. Bagaimana wujudku pada saat aku dewasa? Akankah aku pergi bekerja setiap hari? Akankah aku punya uang sendiri? Bisa membeli apapun yang aku mau tanpa merengek pada orang tua? 

Bertahun-tahun kemudian, aku tepat menjadi sosok yang kerap hadir di angan-anganku. Karena terlalu sibuk dengan kehidupan, kadang kita lupa. Bahwa apa yang ada di sekeliling kita saat ini adalah perwujudan dari mimpi-mimpi sederhana kita saat kecil.

Di masa kecilku, aku adalah anak laki-laki yang selalu ingin tahu segala hal. Aku ingat, buku favoritku adalah RPUL, kamus, dan atlas. Tak pernah bosan buku-buku itu kubaca berulang kali. Meski bersekolah di desa, aku tahu segala hal, aku tahu dunia luar. Aku hapal semua ibukota negara di dunia, letak geografis, dan mata uangnya. Aku selalu tertarik dengan ilmu pengetahuan.

Aku tak suka bermain video game seperti kebanyakan anak laki-laki pada jaman itu yang tergila-gila pada Nintendo atau playstation, menghabiskan uang jajan untuk berada di rental playstation seharian hingga maghrib tiba. Aku lebih suka berada di dalam rumah, sibuk menekuri buku demi buku, majalah demi majalah, tabloid demi tabloid. Dan membayangkan diriku di masa depan akan menjadi sehebat tokoh besar yang baru saja selesai kubaca.

Begitu banyak nilai kebaikan yang kuambil dari membaca.
Suatu kali aku tengah bersepeda seorang diri di desa sebelah setelah sebelumnya membaca majalah Bobo. Sebuah mobil pick up yang memuat ayam petelur melintas melewatiku, dengan meninggalkan dua butir telur di jalanan. Saat itu buru-buru kupungut telur itu, sambil membayangkan betapa kasihannya sopir pembawa mobil itu. Pasti ia dimarahi bosnya karena menjatuhkan telur. Pasti upahnya dikurangi bosnya hari ini, sehingga ia tak bisa memberi uang saku untuk anaknya esok hari, atau tak bisa memberi uang belanja untuk istrinya.

Dengan sekuat tenaga kukayuh sepedaku untuk mengembalikan dua butir telur itu. Satu di genggaman tangan kanan, satu lagi di genggaman tangan kiri, sambil memegang setang. Saat itu kelajukan sepedaku dengan begitu cepat, serupa pebalap sepeda. Jalanan di tanah itu tak rata karena kerap dilalui traktor, maklum kanan kirinya adalah persawahan. Tiba-tiba aku terjatuh, badanku tersungkur dengan bebas menimpa rerumputan di pinggir jalan, dua butir telur itu pecah di tanganku hingga meninggalkan bau amis yang tak kunjung hilang. Aku gagal menyelamatkan nasib sopir pembawa ayam.

Begitu banyak kenangan masa kecil yang hingga kini masih terekam dengan jelas di memori otakku. Kelak jika aku punya anak, aku tak akan kehabisan bahan cerita untuk mengisi masa kanak-kanaknya.

Comments

Popular posts from this blog

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

My 2023 So Far

the best job...ever