Posts

Here Lies Memories

Suatu sore di awal tahun 2000an, aku sedang menerbangkan layang-layang di hamparan sawah, aku melamunkan masa depan. Pikiranku melayang, seiring dengan layangan yang melayang-layang terhempas angin. Aku membayangkan diriku yang sudah dewasa. Bagaimana wujudku pada saat aku dewasa? Akankah aku pergi bekerja setiap hari? Akankah aku punya uang sendiri? Bisa membeli apapun yang aku mau tanpa merengek pada orang tua?  Bertahun-tahun kemudian, aku tepat menjadi sosok yang kerap hadir di angan-anganku. Karena terlalu sibuk dengan kehidupan, kadang kita lupa. Bahwa apa yang ada di sekeliling kita saat ini adalah perwujudan dari mimpi-mimpi sederhana kita saat kecil. Di masa kecilku, aku adalah anak laki-laki yang selalu ingin tahu segala hal. Aku ingat, buku favoritku adalah RPUL, kamus, dan atlas. Tak pernah bosan buku-buku itu kubaca berulang kali. Meski bersekolah di desa, aku tahu segala hal, aku tahu dunia luar. Aku hapal semua ibukota negara di dunia, letak geogr...

keep being good, and all the goodness will come around

Entah bagaimana. Kami dapat menjadi begitu akrab. Saling melengkapi dan mengisi satu sama lain. Seringkali kami memiliki pemikiran yang sama terhadap suatu hal. Sehingga kami berpikir bahwa tanpa mengucapkan sepatah katapun kami sudah tahu apa isi di kepala masing-masing. “Mungkin kita ini memang saudara kembar di kehidupan sebelumnya,” begitu yang kerap ia lontarkan. Kemudian kami akan tergelak-gelak bersama. Seringkali aku melupakan satu hal, aku lupa bahwa ia adalah bosku. Namun hubungan kami bukan seperti bos dan karyawan. Lebih dari sekadar teman. Lebih dari sekadar sahabat. “Sudahlah Mario, di sini aja. Kamu butuh apa? Tante bisa bantu kamu. Asal kamu tetep di sini.” Begitu mama cicik membujukku melalui telepon pagi itu. Nampaknya cicik bercerita pada papa dan mamanya bahwa aku akan pergi. Setiap hari, tante tak pernah lupa membawakan aku bekal makan siang, buah-buahan, dan kue-kue yang sudah dikemas rapi. Tak henti-hentinya aku berpikir, “Mengapa ia begitu sempat m...

"I'll stay for you. I promise."

"Maaf, Pak. Saya sudah putuskan saya belum bisa untuk jadi Manager di perusahaan bapak. Saya mau stay di sini dulu." Kataku melalui telepon pagi itu. "Maksudnya gimana, Mas? Mas Mario mau kita tunggu sampai kapan? Kita bisa tunggu sampai Mas Mario siap kok. Kalau bulan ini belum, bulan depan gak masalah." "Eh. Bukan, Pak. Maksudnya saya batalkan untuk jadi Branch Manager di perusahaan bapak. Mohon maaf sekali sebelumnya, dan terima kasih banyak ya, Pak. Sudah mempercayakan jabatan pada saya.." "Oh, begitu. Baik, gapapa, Mas." Telepon terputus. Aku baru saja mengecewakan satu orang. Dan baru saja mengecewakan impianku sendiri. Sementara ia, yang kupanggil cicik, seseorang yang duduk di sampingku, tersenyum lega. Beberapa hari yang lalu, usai mendapat kesempatan interview untuk posisi Branch Manager dan akhirnya diterima, aku begitu bersemangat. Aku akan menjadi seorang Branch Manager! Aku bisa membungkam mulut orang-orang yang...

God takes me back to Semarang

Ternyata hidup selucu itu. Setelah merantau selama seminggu di Kupang, aku kembali ke Semarang. Aku kembali bertemu teman-teman yang sepertinya baru minggu lalu kita berpisah dan membicarakan masa depan yang seolah-olah tak akan kita lalui bersama lagi. "Besok kalo udah nikah dan dapet istri orang Kupang, kabar-kabar. Kirim tiket Semarang Kupang!" "Jangan dapet orang Kupang, nanti kita susah kalo mau nyumbang!" Dan ucapan-ucapan lucu lainnya yang kini aku cekikikan sendiri kala mengingatnya. Dan kembali lagi bertemu keluarga, kembali bertemu dengan ponakan-ponakan yang setiap hari kurindukan, kini aku dapat kembali menghirup aroma tubuh khas anak-anak yang memabukkan itu. Kembali bertemu dengan makanan-makanan kesukaanku yang jarang kutemui di Kupang, nasi goreng babat, sate ayam, bubur ayam, nasi padang, kalaupun ada, pasti harganya melambung tinggi. Sekembalinya ke Semarang. Aku kehilangan sesuatu. Aku kehilangan pekerjaan. Aku tak punya lagi ...

Days in Kupang

12 Agustus 2017. Aku tak akan pernah melupakan tanggal itu. Tanggal di mana aku terbang melesat di udara, menjauh dari kota tempat tinggalku, meninggalkan pulau Jawa, melintasi pulau-pulau, lalu mendarat di sebuah daratan di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di pulau Timor, di kota Kupang. Di hari itu, aku sudah terbangun dan bersiap di pagi hari. Koper dan barang-barang sudah terkemas rapi. Harus kupastikan berkali-kali tak akan ada barang yang tertinggal karena aku akan menetap di kota itu, kota yang berjarak ribuan kilometer dari rumah, dan entah kapan akan kembali, mungkin berbulan-bulan kemudian, atau bertahun-tahun kemudian. “Nanti kamu pulang-pulang bawa istri, Mar.” “Nanti kamu pulang-pulang udah jadi om-om kaya yang kalungnya rantai emas, perutnya gendut” begitu yang dikatakan teman-temanku. Sepanjang perjalanan menuju bandara, kami tak banyak bicara. Ayah menyetir, sedang aku yang duduk di sisinya tak henti-hentinya menatap keluar jendela mobil. Meresapi suasana ...

My brain is a time machine

“Oh, iya, Mas. Dulu mamah pernah buka salon di daerah Kalasan, aku punya banyak temen di sana. Gimana kabar mereka sekarang ya?” tanyaku pada saudara sepupu saat kita berdua tengah menikmati es krim pankuk khas Semarang di daerah Jalan Pemuda. Kemudian mataku menerawang, berusaha mengingat-ingat wajah-wajah teman kecilku belasan tahun silam. “Kamu tahu Putri?” “Tahu dong! Putri adeknya Lintang kan? Yang kecil putih itu?” “Sekarang dia udah jadi artis. Aku nggak nyangka,” “Hah? Artis?” aku terperangah dan seketika menatap wajah sepupuku. “Iya, artis. Kemarin jadi finalis miss Indonesia. Aku juga nggak nyangka,” Kemudian dengan sekejap kepalaku penuh terisi dengan memori masa kecil. Ingatanku selalu tajam apabila berbicara tentang masa lalu. Saat itu tahun 2001, aku masih berusia tujuh tahun. Keluarga kami masih hidup serba kekurangan. Kemudian ibu memutuskan untuk mengontrak sebuah toko di pinggir jalan untuk membuka salon. Setiap hari setelah menjemputku dari sekolah, ibu s...

If you tired of your work, please remember this, Mario

Image
Seperti biasa, aku pulang larut malam hari ini. Setelah jarum jam tepat menunjuk ke angka 00.30 pagi, kututup aplikasi pada layar komputer, lalu mengemasi barang-barangku. Sambil berjalan keluar kantor aku memberi salam perpisahan pada teman-teman kantor yang rata-rata lebih tua dariku. Aku yang paling muda di antara para pekerja laki-laki di sini. Mereka bekerja keras untuk menghidupi anak dan istri, merelakan malam-malam mereka untuk tak menemani istri di rumah, aku seharusnya bersyukur, aku bekerja keras hanya untuk menghidupi diri sendiri. Ketika berkumpul bersama mereka, kami memperbincangkan keluarga, sedang aku yang muda hanya mendengarkan dan mempelajari pengalaman mereka. “Kamu bersyukur masih bujang, nikmatilah. Banyak hal-hal yang harus direlakan ketika kamu sudah menikah,” begitu kata mereka. Selama bekerja di sini, aku belajar banyak. Kebiasaan untuk bersikap halus dan sopan kepada customer sedikit banyak telah mengubah kepribadianku pula untuk lebih halus. Berkumpul d...