Posts

My brain is a time machine

“Oh, iya, Mas. Dulu mamah pernah buka salon di daerah Kalasan, aku punya banyak temen di sana. Gimana kabar mereka sekarang ya?” tanyaku pada saudara sepupu saat kita berdua tengah menikmati es krim pankuk khas Semarang di daerah Jalan Pemuda. Kemudian mataku menerawang, berusaha mengingat-ingat wajah-wajah teman kecilku belasan tahun silam. “Kamu tahu Putri?” “Tahu dong! Putri adeknya Lintang kan? Yang kecil putih itu?” “Sekarang dia udah jadi artis. Aku nggak nyangka,” “Hah? Artis?” aku terperangah dan seketika menatap wajah sepupuku. “Iya, artis. Kemarin jadi finalis miss Indonesia. Aku juga nggak nyangka,” Kemudian dengan sekejap kepalaku penuh terisi dengan memori masa kecil. Ingatanku selalu tajam apabila berbicara tentang masa lalu. Saat itu tahun 2001, aku masih berusia tujuh tahun. Keluarga kami masih hidup serba kekurangan. Kemudian ibu memutuskan untuk mengontrak sebuah toko di pinggir jalan untuk membuka salon. Setiap hari setelah menjemputku dari sekolah, ibu s...

If you tired of your work, please remember this, Mario

Image
Seperti biasa, aku pulang larut malam hari ini. Setelah jarum jam tepat menunjuk ke angka 00.30 pagi, kututup aplikasi pada layar komputer, lalu mengemasi barang-barangku. Sambil berjalan keluar kantor aku memberi salam perpisahan pada teman-teman kantor yang rata-rata lebih tua dariku. Aku yang paling muda di antara para pekerja laki-laki di sini. Mereka bekerja keras untuk menghidupi anak dan istri, merelakan malam-malam mereka untuk tak menemani istri di rumah, aku seharusnya bersyukur, aku bekerja keras hanya untuk menghidupi diri sendiri. Ketika berkumpul bersama mereka, kami memperbincangkan keluarga, sedang aku yang muda hanya mendengarkan dan mempelajari pengalaman mereka. “Kamu bersyukur masih bujang, nikmatilah. Banyak hal-hal yang harus direlakan ketika kamu sudah menikah,” begitu kata mereka. Selama bekerja di sini, aku belajar banyak. Kebiasaan untuk bersikap halus dan sopan kepada customer sedikit banyak telah mengubah kepribadianku pula untuk lebih halus. Berkumpul d...

Antara Customer Service dan Dosen Feminis

“Kayaknya aku mau resign aja...” desahku pada teman kantor yang saat itu kubikel kita bersebelahan. “Kenapa?!” tanyanya terkejut. “Aku pengen kuliah lagi. Kalo aku tetep kerja di sini, aku nggak ada waktu buat ngurusin kuliah. Aku mau fokus.” “Damn. No, Mario. You can’t do that. Kamu nggak boleh resign!” katanya dengan suara tinggi. “Mario, kalo kamu resign, siapa lagi nanti yang bakal aku curhatin? Siapa lagi yang aku tunggu-tunggu kehadirannya ketika bekerja?” “Hahaha, we still can meet. Aku nggak kemana-mana. Masih di Semarang aja.” Ucapku geli. Sama halnya seperti di perkuliahan, di kantor ini, aku juga dekat dengan para perempuan. Mereka tak segan-segan menceritakan segala masalah pribadinya kepadaku, mulai dari kehidupan keluarga, percintaan, dan lainnya. Celah-celah waktu selama bekerja seolah adalah sesi curhat, dan kita akan mengobrol tanpa henti. Setiap kali aku berjalan memasuki ruangan kantor untuk menuju kubikelku, mereka menyapa dan memanggil namaku dengan ceria. Apab...

My happy quarter life

Kurang dari sebulan, usiaku resmi berganti menjadi 23 tahun. Kehidupanku kini banyak kuhabiskan di kantor, otakku sesak terisi oleh regulasi tiket, jadwal, dan informasi penerbangan, aku tak punya waktu untuk duduk diam menghadap laptop dan merangkai kata-kata supaya menjadi kalimat yang estetis kala dibaca. Otakku kini buntu, tak mampu lagi merangkai kata, otakku kini banyak kugunakan untuk menghitung penalti dan biaya penambahan untuk melakukan reschedule, reroute, atau refund. Ilmu yang kudapat selama empat tahun di bangku kuliah pun kini menguap entah ke mana. 23 tahun. Aku tak pernah berpikir akan menjadi setua itu. Kini aku adalah manusia dewasa yang kerap kubayangkan di masa kecilku dulu yang ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Di usia yang sudah matang dan tua ini, aku ingin hidup bahagia, tak ingin terlalu banyak tuntutan serta memikirkan hal yang tidak perlu. Aku cukup bersyukur dengan kehidupanku saat ini, hidup bersama keluarga yang harmonis, seorang kekasih yang selal...

A little thing called happiness

Suatu ketika aku tengah duduk terpekur melayani reservasi di kubikelku ketika seorang security berbadan tinggi besar berdiri tepat di belakangku. “Kenapa, Pak?” tanyaku ketika agak senggang. “Mas Mario ada tamu nungguin di bawah,” Karena sedang berkonsentrasi melayani pelanggan maka aku tak sempat bertanya lebih jauh, aku kembali pada layar monitorku untuk menyelesaikan reservasi. Setelah reservasi usai buru-buru aku mendatangi pos security. “Siapa Pak yang nungguin?” tanyaku penasaran. “Nggak tahu siapa, saya cuma nerusin info dari security yang di bawah,” “Oke, makasih ya, Pak,” sahutku sambil buru-buru keluar ruangan lalu memencet tombol lift. Kira-kira siapa yang malam-malam begini mendatangiku ke kantor? Ada urusan apa? Apakah orangtuaku? Ah, ayah dan ibuku bahkan hingga saat ini tidak mengetahui di mana lokasi kantorku. Apakah teman kuliah? Teman SMA? Di saat penasaran begini mengapa lift ini tak terbuka-buka juga. Tak berapa lama lift terbuka, aku masuk lalu memencet ...

work life

Di hadapan para customer, se ketika aku dapat berubah menjadi sosok yang selalu ramah, penuh senyuman, dan bertutur kata selembut mungkin, seolah aku adalah orang yang paling sabar. Begitupula ketika mereka melontarkan kata-kata makian dengan angkuh, justru aku yang berkali-kali memohon maaf dengan sopan. Namun setelah itu, aku tak henti-hentinya menghela napas dan mengumpat dalam hati serta berpikir betapa di dunia ini terdapat beraneka ragam jenis manusia. Namun di balik itu, selalu ada perasaan menyenangkan ketika berhasil membantu orang lain. Terasa menyenangkan mendengar ucapan terima kasih dari pelanggan yang terdengar begitu tulus, dan entah dari mana, selalu ada energi lebih untuk mengembalikan ketulusan mereka dengan senyum yang lebih lebar dan tutur kata yang lebih lembut meski tubuh telah begitu letih. Kurang lebih sudah tiga bulan ini aku bekerja sebagai customer service, melayani orang lain dari siang hingga tengah malam. Lalu dari malam hingga pagi tiba. Di tenga...

Life

Kita selalu hidup dalam tuntutan. Setinggi apapun target yang berhasil diraih, selalu ada target yang lain yang harus diraih. Ketika masih kuliah, targetku hanyalah lulus tepat waktu lalu segera mengenakan toga. Ketika berhasil meraihnya, hidup tak lantas berhenti. Masih ada target lain. Aku harus punya pekerjaan. Setelah memiliki pekerjaan pun tuntutan tak lantas berhenti, kehidupan terus bergulir, menciptakan target-target baru. Suatu kali di sela-sela pekerjaan aku bertanya pada seorang teman kantor yang baru saja menikah,  “Bagaimana bro rasanya menikah?” “Enak! Kamu segeralah menikah, punya istri yang merawatmu,” sahutnya bangga. “Kamu udah ada target belum mau nikah umur berapa?” “Wah, aku masih lama. Belum ada bayangan!” jawabku sambil terkekeh. Kemudian aku berpikir sejenak. Usiaku kini hampir 23 tahun, sedang ia menikah di usia 24 tahun. Tentu ia sudah merencanakan pernikahan ketika ia berada di usiaku saat ini. Namun saat ini aku memiliki bayangan tentang pernik...