Posts

A little thing called happiness

Suatu ketika aku tengah duduk terpekur melayani reservasi di kubikelku ketika seorang security berbadan tinggi besar berdiri tepat di belakangku. “Kenapa, Pak?” tanyaku ketika agak senggang. “Mas Mario ada tamu nungguin di bawah,” Karena sedang berkonsentrasi melayani pelanggan maka aku tak sempat bertanya lebih jauh, aku kembali pada layar monitorku untuk menyelesaikan reservasi. Setelah reservasi usai buru-buru aku mendatangi pos security. “Siapa Pak yang nungguin?” tanyaku penasaran. “Nggak tahu siapa, saya cuma nerusin info dari security yang di bawah,” “Oke, makasih ya, Pak,” sahutku sambil buru-buru keluar ruangan lalu memencet tombol lift. Kira-kira siapa yang malam-malam begini mendatangiku ke kantor? Ada urusan apa? Apakah orangtuaku? Ah, ayah dan ibuku bahkan hingga saat ini tidak mengetahui di mana lokasi kantorku. Apakah teman kuliah? Teman SMA? Di saat penasaran begini mengapa lift ini tak terbuka-buka juga. Tak berapa lama lift terbuka, aku masuk lalu memencet ...

work life

Di hadapan para customer, se ketika aku dapat berubah menjadi sosok yang selalu ramah, penuh senyuman, dan bertutur kata selembut mungkin, seolah aku adalah orang yang paling sabar. Begitupula ketika mereka melontarkan kata-kata makian dengan angkuh, justru aku yang berkali-kali memohon maaf dengan sopan. Namun setelah itu, aku tak henti-hentinya menghela napas dan mengumpat dalam hati serta berpikir betapa di dunia ini terdapat beraneka ragam jenis manusia. Namun di balik itu, selalu ada perasaan menyenangkan ketika berhasil membantu orang lain. Terasa menyenangkan mendengar ucapan terima kasih dari pelanggan yang terdengar begitu tulus, dan entah dari mana, selalu ada energi lebih untuk mengembalikan ketulusan mereka dengan senyum yang lebih lebar dan tutur kata yang lebih lembut meski tubuh telah begitu letih. Kurang lebih sudah tiga bulan ini aku bekerja sebagai customer service, melayani orang lain dari siang hingga tengah malam. Lalu dari malam hingga pagi tiba. Di tenga...

Life

Kita selalu hidup dalam tuntutan. Setinggi apapun target yang berhasil diraih, selalu ada target yang lain yang harus diraih. Ketika masih kuliah, targetku hanyalah lulus tepat waktu lalu segera mengenakan toga. Ketika berhasil meraihnya, hidup tak lantas berhenti. Masih ada target lain. Aku harus punya pekerjaan. Setelah memiliki pekerjaan pun tuntutan tak lantas berhenti, kehidupan terus bergulir, menciptakan target-target baru. Suatu kali di sela-sela pekerjaan aku bertanya pada seorang teman kantor yang baru saja menikah,  “Bagaimana bro rasanya menikah?” “Enak! Kamu segeralah menikah, punya istri yang merawatmu,” sahutnya bangga. “Kamu udah ada target belum mau nikah umur berapa?” “Wah, aku masih lama. Belum ada bayangan!” jawabku sambil terkekeh. Kemudian aku berpikir sejenak. Usiaku kini hampir 23 tahun, sedang ia menikah di usia 24 tahun. Tentu ia sudah merencanakan pernikahan ketika ia berada di usiaku saat ini. Namun saat ini aku memiliki bayangan tentang pernik...

Bapak, Bolehkah Saya?

Bapak, bolehkah saya membawa pulang putri Bapak? Mohon maaf, Bapak. Saya seperti perampok yang tiba-tiba saja merenggut harta Bapak yang paling berharga. Terimakasih Bapak, sudah menghadirkan sesosok gadis serupa malaikat ini ke dunia, yang telah berhasil menggetarkan seluruh dunia dan kehidupan saya. Saya tahu Bapak adalah Bapak yang hebat. Putri Bapak berkali-kali bercerita dengan bangga mengenai Bapak dan saya menyimaknya dengan seksama. Segala ceritanya membuat saya berpikir betapa Bapak mencintai dan menyayangi putri Bapak. Membuat saya berpikir bahwa putri Bapak benar-benar serupa malaikat tak bernilai bagi Bapak. Membuat saya berpikir berjuta-juta kali untuk membuatnya menangis. Kalau Bapak saja berusaha mati-matian untuk membuatnya tersenyum, siapakah saya untuk membuatnya menangis? Bapak, saya hanya pemuda dari keluarga sederhana. Namun, Bapak saya sama hebatnya seperti Bapak. Telah berhasil membesarkan anak sebandel saya hingga detik ini. Bapak, saya juga tida...

the next step of life : work life

Aku memang selalu mengagumi para pekerja bank, yang berpenampilan rapi dan menarik, berwajah cantik dan tampan, selalu tersenyum dan bersikap ramah seolah hidup tak ada beban. Namun aku tak pernah berpikir akan menjadi bagian dari mereka. Aku tak tahu banyak soal perbankan. Ketika kuliah, kukira aku akan berkarir di dunia jurnalistik karena aku mengambil konsentrasi jurnalistik, sehingga mungkin aku tidak jauh-jauh dari dunia tulis-menulis, dunia berita, atau dunia penyiaran. Namun belakangan kusadari bahwa kemampuanku di dunia jurnalistik tidaklah dapat diandalkan. Kemampuanku di bidang jurnalistik hanya di permukaan, aku pun tidak terlalu punya passion di sana. Sehingga aku ingin berkarir di luar dunia jurnalistik. Namun hari ini, aku terbangun dengan perasaan cemas. Seminggu berlalu semenjak aku melakukan interview dengan seorang HRD dan user di sebuah Bank BUMN. Namun hingga hari ini tak juga ada kabar lebih lanjut. Apakah aku ditolak? Apakah aku telah melakukan kesalahan pada...

Sop Buntut

“Ayolah, Mas. Kita menikah, Mas janji kan akan bercerai?” erangnya manja sambil membenamkan kepalanya pada dadaku yang bidang. Rambutnya yang panjang terurai menyibakkan semerbak aroma bunga yang kusukai. “Sabar dulu, Sayang. Kirana sedang hamil. Tunggu sampai dia melahirkan dulu. Bagaimanapun bayi yang ada di rahimnya itu darah dagingku,” ujarku seraya mengusap pundaknya lembut dan memijatnya perlahan. “Janji ya, Mas. Pramesti ingin segera menikah dengan Mas Dimas. Pramesti mencintai Mas Dimas,” desahnya dengan suara yang selalu membuatku jatuh cinta. Suara khas yang demikian sempurna, seperti perpaduan dari getar senar harpa, gemericik air yang menyejukkan, dan kicauan burung di tanah surgawi. Masih terekam dengan jelas di ingatanku pada hari di mana kita bertemu untuk pertama kalinya... *** Saat itu, aku dan Kirana istriku mampir di restoran langganan untuk menikmati sop buntut kesukaannya. Kami baru saja pulang dari dokter kandungan. Sudah berhari-hari Kirana selalu merasa...

Terimakasih Ayah dan Ibu

Image
Suatu kali ayah mengajak kami sekeluarga unt uk makan malam di luar. Kami akan makan malam di sebuah Art Gallery tempat ayah bekerja. Aku girang sekali. Dengan antusias aku mengenakan celana jins panjang kebanggaan, baju berwarna kuning menyala, jam tangan yang apabila ditekan tombolnya akan mengeluarkan nada lagu “Happy birthday to you” serta lampu berwarna-warni, kemudian menyemprotkan parfum pada sekujur tubuh. Berempat kami menaiki motor, aku selalu senang duduk di depan, lalu menikmati perjalanan sembari merasakan tiupan angin yang menerpa wajah. Apabila asap tebal datang, atau percikan debu dan pasir beterbangan, atau ketika serangga-serangga kecil mulai mengganggu, dengan sigap ayah menutup mataku dengan telapak tangannya. Art Gallery tersebut merupakan sebuah galeri tempat pemiliknya memamerkan karya-karya seninya, semerbak wangi bunga di mana-mana, wanita-wanita cantik bertubuh tinggi menjulang tersebar pada sudut-sudut ruangan. Ayah baru saja bekerja di tempat in...