Posts

Ternyata kita bisa juga ya...

Image
4 tahun 23 hari. Waktu yang kubutuhkan untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi. Aku lulus dengan IPK 3,46. 0,05 lagi untuk menuju predikat Cumlaude. Membuatku sedikit menyesal tak mengikuti anjuran seorang sahabat saat itu untuk mengulang satu mata kuliah yang mendapat nilai C. “Ayolah Mar, sayang kalo nggak diulang, mumpung ada waktu. Nanti kamu bisa pake bekas tugas-tugasku yang dulu,” begitu katanya. “Enggak ah, udah semester akhir aku mau nyantai nggak mau banyak pikiran,” Saat itu aku semester 8, aku ingin menikmati masa semester akhir, tidak ingin terbebani dengan kuliah bersama adik tingkat. “Tuh kan, coba dulu kamu nurut aku. Kamu ngulang dapet B pun kamu udah bisa Cumlaude” begitu komentarnya saat mengetahui jumlah IPK ku. Ya sudahlah, apa boleh buat, menyesalpun kini tiada guna, kini aku tak lagi punya waktu untuk mengulang mata kuliah C tersebut. Kini, apabila aku memasukki gedung FISIP. Aku selalu terbayang saat-saat pertama kali aku menginjakkan ge...

Welcome to The Real World!

Sore ini seorang sahabat perempuan menemaniku untuk membeli dasi yang akan kupakai pada saat upacara yudisium dan wisuda nanti. Aku tidak punya banyak dasi. Aku hanya punya seikat dasi yang selalu kupakai pada setiap acara. Pandanganku tertumbuk pada dasi-dasi bermotif garis dengan warna-warna yang kalem, mataku menatap satu persatu, memilah dan menilai. Sedang temanku sibuk dengan untaian dasi-dasi yang ditata pada sudut ruangan. “Mar, ini aja nih,” panggilnya sambil tersenyum, kemudian ia menyodorkanku seikat dasi berwarna kuning menyala dengan gambar tokoh kartun Spongebob yang tengah tertawa lebar sambil meniup gelembung. Kemudian seketika aku teringat masa kecilku. Saat aku masih bocah, aku selalu antusias setiap kali ayah mengajakku untuk membeli dasi. Mataku berbinar-binar menatap ikatan-ikatan dasi yang berwarna-warni. Dahulu aku selalu menyodorkan dasi dengan gambar tokoh-tokoh kartun, Tazmania, Tom and Jerry, Sylvester, Casper, namun setiap kali kusodorkan ayah sela...

A Journey to S.I.Kom

Image
Dan satu persatu dari kita telah lulus. Kita pernah sama-sama berjuang mengerjakan tugas sejak dilanda panas matahari hingga subuh tiba. Kita pernah sama-sama tertidur di beranda kos, beralaskan ubin, beratapkan bintang-bintang, kelelahan didera tugas. Kita pernah sama-sama begadang semalaman dan saling mengingatkan supaya tidak jatuh tertidur. Kita pernah sama-sama membolos di mata kuliah yang tak menarik. Kita pernah sama-sama tertawa cekikikan saat kuliah tengah berlangsung. Kita pernah sama-sama berwajah pucat kala dosen memilih mahasiswa secara acak untuk melakukan presentasi.  Ingatkah beberapa tahun yang lalu saat kita berandai-andai bagaimana rasanya menjadi sarjana? Saat kita berandai-andai bagaimana rasanya terbebas dari belenggu tugas? Ternyata waktu berjalan sekilat angin. Selamat teman, kalian telah resmi menjadi Sarjana Ilmu Komunikasi. Doakan kami, supaya cepat menyusul. Doakan kami, supaya cepat mengenakan setelan hitam putih dan dengan bangga tersenyum puas di ...

Koko, a Friend from The Past

Namanya Koko, aku tak mampu mengingat nama lengkapnya. Ia terlahir di bulan Oktober di tahun yang sama dengan tahun kelahiranku. Rumahnya tak jauh dari rumahku, mungkin hanya beberapa meter. Dahulu, aku kerap menggoda dan menjahilinya. Melemparinya dengan kerikil, lalu terbahak-bahak. Dan ketika ia memanggil bapak atau ibunya, aku buru-buru masuk ke dalam rumah. Bapak ibunya berprofesi sebagai guru. Kuingat bapaknya begitu galak dengan wajah yang nyaris tanpa senyum, sebentuk wajah yang sungguh tidak ramah. Ia tak segan-segan memarahi anak-anak yang menggoda Koko. Dahulu, mengusilinya adalah perbuatan yang menyenangkan, ia tak pernah marah, malah berperilaku semakin aneh dan lucu ketika diganggu. Ia adalah seorang anak laki-laki berperawakan kurus dan tinggi, lebih tinggi dariku. Kulitnya juga putih, tidak hitam sepertiku. Potongan rambutnya selalu pendek dan jabrik. Raut wajahnya serupa dengan raut wajah anak-anak lain yang sepertinya, anak-anak dengan down syndrome. Sore itu...
Malam itu hari Jumat tepat tanggal 27 di bulan Mei tahun 1994, aku tak sabar lagi melihat dunia, kuketuk rahim ibuku untuk mencari jalan keluar serupa lorong dengan cahaya di ujungnya, kuyakin itulah dunia tempat manusia merajut kehidupan. Dan keluarlah aku dari rahim ibuku yang becek, seseorang membersihkan tubuhku dari darah dan plasenta ibuku. Saat itu aku menangis meraung-raung. Entah menangis karena apa. Tubuhku kebiru-biruan dengan bercak hitam pada perut. Kata ibuku, bercak itu berasal dari karma seekor ular yang ditabraknya tempo hari saat aku masih bersarang di rahimnya. Waktu berlalu, kutapaki hari demi hari kehidupan di dunia. Aku semakin tumbuh besar. Tubuhku kuat dan sehat. Di manapun aku berada, orang-orang di sekeliling mengomentari rambut dan alisku yang hitam dan lebat. Mataku bulat bercahaya, memancarkan sorot yang lugu. Tingkahku kalem, tidak nakal dan banyak bergerak seperti anak-anak lain. Aku menyukai suasana yang tenang dan damai, tidak suka keramaian...

Menjadi Dewasa

Siang itu kami bertiga menyantap makanan di sebuah warung makan sederhana, di antara sinar matahari yang begitu terik, di antara penantian akan kehadiran dosen pembimbing. Kami makan begitu lahap, namun akhirnya merasa kenyang dan tak mampu menghabiskan seporsi nasi ayam rica-rica yang begitu  melimpah. Kita sama-sama tak lagi enggan untuk berkata “yang murah-murah saja” ketika bingung menentukan tempat untuk makan bersama. Tak lagi enggan untuk berkata “aku tak punya uang” ketika ajakan untuk bersenang-senang datang. Kita memiliki masalah yang sama, sama-sama memiliki perasaan enggan, sungkan, dan malu ketika harus meminta receh pada orang tua. Ketika perut telah puas terisi, maka kami melanjutkan obrolan yang lebih serius dan mendalam. Mengobrol dengan para perempuan begitu menyenangkan, seperti membuka pandangan baru, seperti melihat sesuatu yang sama dengan kacamata yang berbeda. Kali ini obrolan kami tak seperti biasa yang penuh dengan tawa, yang selalu menceritakan penga...

An Old Story

I accidentally found this... Sepertinya baru kemarin, saat kita bersepeda bersama sore itu, sebelum senja menyapa langit-langit kota Jogja, saat aku duduk di boncengan dan kau yang mengayuh. Aku penasaran bagaimana rasanya naik sepeda dengan wajah menghadap ke belakang, pasti rasanya menyenangkan. Lalu kuputar badanku yang kecil selagi sepeda melaju, dan aku terjatuh di tengah jalan namun kau masih terus mengayuh. Tak menyadari bahwa adikmu sudah tersungkur jauh di belakang. Atau ingatkah di lain hari saat kau mengayuh sementara aku duduk menyamping di plang, di antara setang dan sadel tempatmu duduk. Dan sesampainya di rumah kudapati lututku penuh luka, karena ternyata lututku tergesek roda selama sepeda melaju. Atau ingatkah saat mama dan papa memarahimu karena mereka pikir kau yang mendorongku dari tempat tidur sehingga jatuh terjerembab saat itu? Padahal aku ingat betul, aku terjatuh karena terpeleset kakiku sendiri Ingatkah saat kau begitu menggandrungi sekumpulan pria mud...