Jika Aku Lebih Dahulu Tiba

Seminggu yang lalu, kami sekeluarga liburan di Dieng dan menginap di sebuah villa estetik dengan nuansa kayu. Di malam pertama, kami menghabiskan waktu dengan barbeque time di serambi villa di tengah dinginnya angin malam. Kami memasak bersama, tak terhitung berapa gram daging yang masuk ke mulutku. 

Ketika akan tidur, aku merasa tidak nyaman dan nyeri pada dada kiriku. Ini bukan yang pertama kalinya, nyeri dada ini beberapa kali kualami. Seingatku ketika kuliah di tahun 2014 aku juga pernah merasakan nyeri yang sama, kemudian tahun 2017 saat aku training pekerjaan di Jakarta, dan beberapa kali lagi setelah itu namun aku tak ingat. Aku tidur dengan tidak nyenyak, karena napas sesak dan nyeri di dada hingga keesokan paginya. 

Esoknya, ketika kami pergi ke tempat wisata pun, napasku sangat pendek. Aku tak kuat untuk berjalan jauh atau naik tangga meskipun pendek. Menaiki tangga pendek sudah membuatku tersengal-sengal hingga tak bisa bicara. Aku memang sudah lama tak olahraga, apa karena aku jarang olahraga?

Setibanya di Semarang, aku langsung pergi ke klinik dan dirujuk ke dokter spesialis jantung. Aku memilih dokter yang sama dengan dokter ayahku. Keesokan harinya di tanggal 8 Juli 2025, aku sudah bertemu dengan dokter dan dirujuk untuk echo dan cek darah yang hasilnya baru bisa aku ketahui pada saat kontrol selanjutnya di bulan Agustus.

Ketika echo jantung, dokter menanyakan beberapa hal seperti apa keluhanku, apakah terasa sesak, sesak jika melakukan aktivitas seperti apa. Dan seusai melakukan echo ia menulis catatan di selembar kertas tanpa memberi tahu apapun. 

Aku selalu ingin tahu banyak hal. Ketika mengetahui diagnosis yang kualami ini adalah Angina Pectoris atau lainnya yang mengarah ke penyakit jantung, aku langsung banyak melahap info dan pengetahuan apapun mengenai jantung. Supaya aku tahu ke mana arahnya dan memahami resiko terburuk: kematian mendadak. 

Omong-omong, aku tak takut pada kematian. Sama halnya dengan kelahiran, kematian adalah sesuatu yang alami. Terlebih karena aku mendalami spiritual semenjak pandemi Covid-19, aku tertarik pada kehidupan setelah kematian, reinkarnasi, past life, karma, dan sebagainya, yang membuatku melihat kematian adalah sebagai proses menuju alam jiwa dan keabadian, bukan lagi sebagai sesuatu yang menakutkan. Jadi jika suatu saat tiba waktuku dan penyakit ini adalah penyebabnya, ya let it be. Yang terjadi biarlah terjadi. 

Aku tak takut pada kematian, tak apa jika aku harus kembali ke alam jiwa lebih dahulu dibanding ayah dan ibuku. Lebih baik begitu, daripada aku harus melihat dan merasakan ayah atau ibuku pulang lebih dulu. Jika aku pulang lebih dulu, akulah yang akan menyambut ayah dan ibuku kelak dan membawa mereka untuk berjalan-jalan dan menjelaskan banyak hal, karena aku lebih dahulu tiba. 

Semarang, 15 Juli 2025

Comments

Popular posts from this blog

Bulan Kesepuluh di Tahun 2024

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

Kamu Pasti Bisa, Mario!