"I'll stay for you. I promise."
"Maaf, Pak.
Saya sudah putuskan saya belum bisa untuk jadi Manager di perusahaan bapak.
Saya mau stay di sini dulu." Kataku melalui telepon pagi itu.
"Maksudnya
gimana, Mas? Mas Mario mau kita tunggu sampai kapan? Kita bisa tunggu sampai
Mas Mario siap kok. Kalau bulan ini belum, bulan depan gak masalah."
"Eh. Bukan,
Pak. Maksudnya saya batalkan untuk jadi Branch Manager di perusahaan bapak.
Mohon maaf sekali sebelumnya, dan terima kasih banyak ya, Pak. Sudah
mempercayakan jabatan pada saya.."
"Oh, begitu. Baik,
gapapa, Mas."
Telepon terputus.
Aku baru saja mengecewakan satu orang. Dan baru saja mengecewakan impianku
sendiri. Sementara ia, yang kupanggil cicik, seseorang yang duduk di sampingku, tersenyum lega.
Beberapa hari yang
lalu, usai mendapat kesempatan interview untuk posisi Branch Manager dan
akhirnya diterima, aku begitu bersemangat. Aku akan menjadi seorang Branch
Manager! Aku bisa membungkam mulut orang-orang yang memandangku sebelah mata,
seolah-olah aku makhluk hina, penuh cela, yang kata mereka aku tak akan bisa
hidup normal, tak punya masa depan. Lihat aku sekarang! Aku Branch Manager di
sebuah institusi pendidikan, kontras sekali bukan dengan yang mereka katakan
sebelumnya?
Hingga kemudian aku
melupakan satu hal.
Bagaimana bisa aku
meninggalkan orang-orang yang begitu mencintaiku di tempat kerjaku saat ini?
Alangkah jahatnya aku apabila aku meninggalkan orang-orang baik ini demi sebuah
jabatan prestise yang hanya kugunakan untuk pembuktian semata. Ah, aku tak
peduli. Aku hanya karyawan di sini. Dan setiap karyawan punya hak untuk tumbuh
dan berkembang. Dan inilah saatku untuk maju.
Satu persatu
pelamar datang untuk mengganti posisiku, dan atasanku tak pernah keluar ruangan
dengan raut wajah puas setiap kali selesai interview.
"How is she,
mister?" Tanyaku.
"She's good.
But I dunno. I can't feel the same feeling as I felt when I interviewed you a
year ago." Lalu aku hanya tertawa.
Di sini, aku dekat
dengan salah satu owner yang kupanggil ‘cicik’. She's more than just a friend
or a bestfriend for me. She's more like a sister. Selisih usia 9 tahun,
ditambah perbedaan ras dan status sosial tak pernah mengganggu persahabatan
kami. Siapa crazy rich-chinese Semarang yang tak kenal dia? Karna terlalu
dekat, aku tak pernah mengatakan bahwa aku akan resign dan akan menjadi Branch
Manager di perusahaan lain. Karna aku tahu itu hanya akan membuatnya tersinggung
dan marah padaku. Dia tahu kabar itu dari orang lain. Dan seusai mendengar
kabar kepergianku, ia tak pernah lagi datang ke kantor untuk menemuiku. Pun tak
pernah lagi ia mengirimkanku pesan singkat di Whatsapp, padahal biasanya kami
sering mengobrol panjang lebar dan membicarakan segala hal.
Aku tak mau
meninggalkan kantor ini dengan kondisi tidak baik-baik saja, hingga kemudian
aku memberanikan diri untuk mengirimkannya pesan.
"Cik, lagi
ngapain?" Tanyaku basa-basi. Hingga obrolan berlanjut, dan membicarakan
keputusanku resign. Ia benar-benar kecewa padaku. Ia begitu marah dan sakit
hati, membuatku merasa begitu bersalah sekaligus bersyukur Tuhan mempertemukan
kami. Bagaimana bisa Tuhan mempertemukanku dengan orang yang sedemikian baiknya?
Yang membuatku seketika menyingkirkan ego untuk mengejar karir dan materi.
Seketika itu semua tak lagi berarti.
"Mario, apa
yang kamu kejar? Kalau kamu ngejar jabatan Manager kita juga bisa. Bukannya
kita selalu bilang kalau kamu bakalan jadi manager setelah kita buka cabang
baru?"
“Coba sebut aku pernah jahat apa sama
kamu!”
“Coba sebut apa pernah aku nggak bantuin
kamu!”
“Kenapa kamu tega ninggalin aku?!”
“Dibayar berapa kamu sampe tega ninggalin
aku? Ayo jawab kamu dapet gaji berapa!”
Kurang lebih itulah kata-kata darinya yang
menempel di ingatanku hingga kini. Kata-kata yang akan selalu kuingat.
Kata-kata itulah yang membuatku akhirnya luluh dan menepiskan ego untuk
mengejar karir dan prestise. Apalah arti semua itu jika aku harus kehilangan seseorang
yang begitu mencintaiku.
“I am so sorry. What should I do to say
sorry?” kataku akhirnya. Dirundung perasaan bersalah yang begitu dalam.
“Stay di sini. Sama aku.”
“I will. I’ll stay for you. I promise.”
Janji terucap. Ia tak lagi marah padaku. Aku
kembali mendapat keceriaan dan canda tawanya.
Esoknya, kami bertemu di kantor. Ia kembali
memunculkan diri di kantor. Ternyata ia memang sengaja tidak pernah datang lagi
ke kantor karena enggan melihatku. Tapi kini, ia kembali, bahkan ia datang
lebih awal dari biasanya. Dengan wajah berseri-seri ia tersenyum lebar menyapaku.
“Aku cancel tawaran jadi manager deh demi cicik”
kataku. Lalu kami tergelak-gelak bersama.
Kini aku paham, bahwa hidup dan karir tak
hanya soal materi dan jabatan. Perasaan aman, nyaman, dan dicintai adalah juga
kebutuhan dasar manusia. Aku tak akan lagi silau oleh tawaran jabatan di luar
sana.
Seharusnya saat ini, aku sudah mengarungi
ibukota sebagai seorang Branch Manager. Tapi toh aku tidak pernah menyesal. Kutahu
aku telah mengambil keputusan yang tepat. Rejeki tak akan salah arah.
Mario
8 Des ‘18
Comments
Post a Comment