God takes me back to Semarang
Ternyata hidup selucu itu.
Setelah merantau selama seminggu di Kupang, aku kembali ke Semarang. Aku kembali bertemu teman-teman yang sepertinya baru minggu lalu kita berpisah dan membicarakan masa depan yang seolah-olah tak akan kita lalui bersama lagi.
"Besok kalo udah nikah dan dapet istri orang Kupang, kabar-kabar. Kirim tiket Semarang Kupang!"
"Jangan dapet orang Kupang, nanti kita susah kalo mau nyumbang!"
Dan ucapan-ucapan lucu lainnya yang kini aku cekikikan sendiri kala mengingatnya.
Dan kembali lagi bertemu keluarga, kembali bertemu dengan ponakan-ponakan yang setiap hari kurindukan, kini aku dapat kembali menghirup aroma tubuh khas anak-anak yang memabukkan itu. Kembali bertemu dengan makanan-makanan kesukaanku yang jarang kutemui di Kupang, nasi goreng babat, sate ayam, bubur ayam, nasi padang, kalaupun ada, pasti harganya melambung tinggi.
Sekembalinya ke Semarang. Aku kehilangan sesuatu. Aku kehilangan pekerjaan.
Aku tak punya lagi kesibukan. Aku pengangguran. Sedang uangku kian menipis. Sebelumnya, aku sibuk bekerja dari siang sampai tengah malam, atau dari malam sampai pagi. Lalu tiba-tiba hanya bergulingan di atas kasur. Tanpa sadar tertidur, bangun, merasa lapar lalu makan, mandi, lalu tidur lagi, begitu seterusnya.
Sempat merasa sedih, menyesal, lalu tak henti-hentinya mengutuk diri sendiri.
"Apa yang telah kulakukan pada hidupku?"
"Apakah aku melakukan kesalahan besar?"
"Mengapa kutinggalkan pekerjaanku untuk sesuatu yang belum tentu di luar sana?"
Setiap hari, tak pernah lupa aku membuka aplikasi Jobstreet di handphone, atau mencari-cari lowongan pekerjaan di internet. Aku mulai sibuk untuk mengatur jadwal interview demi interview dari perusahaan satu ke yang lainnya, baik di kota Semarang hingga Ungaran.
Saat itu malam hari, aku baru saja merebahkan tubuhku untuk mulai menutup mata. Aku begitu lelah setelah menjalani tes tahap kedua di suatu perusahaan. Tiba-tiba pesan whatsapp masuk dari seseorang dari seseorang tak dikenal, ia menyapa dengan bahasa Inggris, lalu mulai memperkenalkan diri bahwa ia adalah Manager sebuah English Course untuk anak-anak dan mengundangku untuk interview. Aku mulai berprasangka buruk, "Sejak kapan aku melamar di sebuah English Course?", "Undangan interview kenapa lewat whatsapp, bisa kan lewat email yang lebih formal?"
Seseorang yang mengaku bernama Steve itu mulai mengirimkan foto-foto sebuah bangunan megah yang tengah dibangun, dari gayanya berbicara, sepertinya ia bukan orang Indonesia. Bahasa inggrisnya begitu fasih. Entah darimana aku bisa menduga bahwa ia orang Singapore. Kemudian ia mengajakku bertemu. Aku kembali berprasangka buruk, bagaimana jika aku diculik? Bagaimana jika ia ternyata seorang gay yang memiliki sifat psikopat? Namun, ajakannya untuk bertemu di kafe Excelso itu sedikit melunturkan prasangka burukku. Excelso ada di tengah-tengah mall, paling tidak aku bisa berteriak kalau ia mulai macam-macam.
Aku menyanggupi ajakannya dua hari kemudian.
"Are you wearing a black tshirt?" ketikku di whatsapp setelah aku melihat sesosok pria di dalam kafe itu. "Wah penampilan aslinya berbeda dengan foto profil whatsappnya" pikirku.
"Yes, that's me!"
Lalu aku berjalan memasukki kafe untuk menghampiri pria itu. Tapi aneh pria itu tak ada gerik-gerik menyambutku. Sedang pria berwajah chinese yang duduk di meja sebelahnya yang juga berbaju hitam melambai ke arahku. Ya Tuhan, ternyata aku salah orang.
"Hi, Mr Steve!" aku menyambut jabatan tangannya, lalu menyalami seorang cicik-cicik cantik yang duduk di sebelahnya, dan seorang pria yang juga berwajah chinese yang sepertinya seumuranku. Mereka duduk berderet di hadapanku.
"Hello, Mario!" sambutnya ramah. "Do you want to order something to drink or eat?"
"No, thank you. I am full." Jawabku ramah sambil tersenyum. Padahal aku masih berprasangka buruk. Bisa jadi ia memasukkan serbuk sianida ke dalam minumanku. Siapa tahu, kan? Berjaga-jaga itu penting.
Lalu "interview" dimulai. Interview yang bukan seperti interview. Karena aku lebih banyak tersenyum, menganggukan kepala, sambil berkata "Yes.." setiap kali Mr Steve selesai berbicara. Tidak ada sesi tanya jawab seperti kebanyakan interview. Padahal jawaban-jawaban ala interview itu sudah kuhapal di luar kepala.
Satu pertanyaan dari Mr Steve yang kuingat sampai sekarang, "What score would you like to give to yourself in communication skill?"
Lalu kujawab sekenanya, "Maybe on eight."
"Eight? Why don't you give nine or ten?"
Aku berpikir sejenak, mencari jawaban yang pas, lalu kujawab "Because I still need more improvement for myself" Hanya kata-kata itu yang terlintas di otakku. Lalu mr Steve menyudahi interview.
"I will inform you later, okay? Maybe tomorrow. You are not still working at another institution right?"
"No, but i am still waiting for confirmation from another institution as well."
"Ohh, i will inform you tonight then"
"Okay" Lalu aku tersenyum lagi. Bangkit berdiri. Kembali menjabat tangan mr Steve, cicik dan kokoh di sampingnya yang dari tadi lebih banyak diam.
Aku tak menaruh harapan apapun. Karna aku juga sedang menunggu konfirmasi dari perusahaan lain yang lebih dulu kuincar. Aku sudah melalui beberapa tahap seleksi di perusahaan itu, tinggal selangkah lagi, aku berharap banyak.
***
"Hello there, I have finished my meeting. Are you free now? Is it possible for you to meet me at my restaurant to discuss about your salary? But if you are busy I can just call you now." Begitu pesan whatsapp dari mr Steve yang kuterima sesaat setelah aku menderaskan doa Bapa Kami di dalam hati. Karena saat itu aku sedang di mobil dengan keluarga, maka aku memintanya untuk berbicara via telepon saja. Tak lama ia meneleponku, menyebutkan sejumlah nominal gaji yang akan kuterima, lalu meminta persetujuanku, "Are you perfectly fine with it? Don't worry, it's only your salary for the first 3 months. After 3 months, you will receive more."
Tanpa pikir panjang, kujawab "Yes, mr. I am perfectly fine with it"
Nominal tersebut lebih besar dari gaji yang kuterima di tempat sebelumnya. Dengan beban kerja yang tak terlalu berat plus jam kerja yang lebih manusiawi.
Kulayangkan pandanganku ke luar jendela sepanjang jalan.
Lalu tak henti-hentinya berterimakasih pada Tuhan.
Comments
Post a Comment