Days in Kupang
12 Agustus 2017.
Aku tak akan pernah melupakan tanggal itu.
Tanggal di mana aku terbang melesat di udara, menjauh dari kota tempat
tinggalku, meninggalkan pulau Jawa, melintasi pulau-pulau, lalu mendarat di
sebuah daratan di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di pulau Timor, di kota Kupang.
Di hari itu, aku sudah terbangun dan bersiap
di pagi hari. Koper dan barang-barang sudah terkemas rapi. Harus kupastikan
berkali-kali tak akan ada barang yang tertinggal karena aku akan menetap di
kota itu, kota yang berjarak ribuan kilometer dari rumah, dan entah kapan akan
kembali, mungkin berbulan-bulan kemudian, atau bertahun-tahun kemudian.
“Nanti kamu pulang-pulang bawa istri, Mar.”
“Nanti kamu pulang-pulang udah jadi om-om kaya
yang kalungnya rantai emas, perutnya gendut” begitu yang dikatakan
teman-temanku.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, kami tak
banyak bicara. Ayah menyetir, sedang aku yang duduk di sisinya tak
henti-hentinya menatap keluar jendela mobil. Meresapi suasana kota Semarang,
meresapi suasana di pulau Jawa, yang tak akan lagi bisa kunikmati.
“Kamu yakin bakal ke Kupang, Mar?”
“Mario, kamu beneran berangkat?”
“Refund aja tiket kamu, Mar.” Aku membaca pesan di Whatsapp dari
teman-temanku. Hingga kini mereka tak juga merelakan keputusanku untuk pergi
meninggalkan kota ini. Maaf teman-teman, aku harus pergi. L
***
Aku menjejakan kaki di kota Kupang sekira
pukul 17.00 WITA. Dari ketinggian kala masih di pesawat tadi, aku bisa melihat
sekilas kota Kupang yang didominasi oleh pepohonan kering berwarna coklat,
jalanan yang tidak terlalu padat, dan hamparan laut yang berwarna biru
kehijauan. “Inikah kota tempatku merajut kehidupan baru?”
Seusai mengambil bagasi aku berjalan keluar
bandara dan berpapasan dengan orang-orang yang memiliki ciri fisik yang sama.
Kulit berwarna gelap, rambut keriting, sorot mata tajam, dengan alis yang tebal
serta bulu mata lentik.
“Taksi, bapa?” seorang sopir taksi menawarkan
taksi. Aku mengangguk, lalu dengan sigap ia keluar untuk memasukkan koperku ke
dalam bagasi mobil.
“Mau ke mana, bapa?” tanyanya ketika aku duduk
di sisinya. Aku terkesima pada logat bicaranya. Logat bicara yang tak pernah
kudengar sebelumnya. Meski penampilanya sangar dengan kulit berwarna gelap,
namun nada bicaranya lembut dan sopan.
“RSS Baumata pak, bisa?” kontras sekali logat
bicaraku dengan logatnya.
“Bisa bapa,” katanya sambil mulai menjalankan
taksi. “Bapa ini dari Jakarta toh?”
“Bukan, pak. Saya dari Semarang, Jawa Tengah,”
“Ohh, Semarang...” lalu kami bercakap-cakap
sepanjang jalan. Ia banyak bercerita tentang Kupang. Begitu tahu bahwa aku
orang Jawa, ia mulai memanggilku dengan sebutan “Mas” bukan
lagi “Bapa”. Lalu aku mulai sibuk menelusuri jalanan dengan mataku, sepanjang
jalan yang kutemui hanya pepohonan kering di sisi kanan dan kirinya.
***
“Mario...” Bapak pemilik kos menyambutku
ketika aku baru saja turun dari taksi, lalu membantu membawakan barang-barangku
menuju kamar. Bapak pemilik kos bernama Tony Talomanafe, asli orang Kupang,
namun lama tinggal di Surabaya sehingga ia fasih berbicara dalam bahasa Jawa. Di
hari pertamaku di Kupang, Pak Tony begitu antusias mengenalkan padaku daerah
rumahnya, bahkan ia sempat menggambarkan peta dari rumah menuju tempat makan.
“Di dekat sini juga ada mushola. Jadi gampang
kalau mau ibadah...” Ia masih saja antusias bercerita ketika aku akan mandi.
“Saya ke gereja, Pak...” sahutku dengan handuk
bertengger di pundak.
“Ohh... yo wes... Pas kalo gitu. Saya juga
Kristen,” Dalam hati aku bersyukur, di hari pertama berada di kota yang asing
ini sudah dipertemukan dengan orang baik.
Pak Tony suka sekali mengobrol. Ketika mengobrol, ia memperlakukan aku seperti anaknya. Ia banyak menasihatiku tentang hidup, tentang pekerjaan. “Kita itu harus punya pekerjaan yang seimbang. Seimbang di sini maksudnya kamu punya banyak waktu untuk anak istrimu. Juga bisa mencukupi kebutuhan. Waktu dan uang harus seimbang.” Aku masih ingat betul perkataannya. Sepertinya ia tak punya anak, atau tak punya istri? Karena selama tinggal di sana aku selalu melihatnya seorang diri, sepertinya tak ada siapapun selain ia sendiri di rumah itu.
Suatu siang, Pak Tony tergopoh-gopoh berjalan
menuju kamarku sambil membawa sesuatu. “Mario, ini ada magic jar. Dicoba dulu,
lumayan bisa dipakai buat bikin nasi. Ini dulu punya yang ngekos di sini tapi ketinggalan,”
“Wah... makasih Pak,” sahutku terpana dengan
mata berbinar-binar. Bukan terpana karena magic jar, lagipula kuyakin magic jar
itu sudah tidak berfungsi dengan baik. Namun terpana karena kebaikan hatinya,
betapa ia begitu peduli. Kucoba mencolokkan kabelnya pada stop kontak,
masih terasa hangat di bagian dasarnya.
“Masih bisa kok, Pak,”
“Masih fungsi kan? Ini tinggal dicuci tempat
nasinya,”
“Iya, Pak. Makasih ya, Pak,”
Setelah Pak Tony meninggalkan kamarku. Entah bagaimana,
aku justru merasa begitu sedih. Tak terasa air mataku mengalir. Aku menangis
sesenggukan. Di rumah, aku bahkan tak peduli dengan magic jar. Begitu bangun
tidur, nasi sudah tersaji siap untuk disantap. Sedangkan di sini, diberi magic
jar yang nyaris rusak saja aku sudah terpana bahagia.
Selama di Kupang, tak seharipun kulewati tanpa
menitikkan air mata. Ada saja yang membuatku teringat akan kampung halaman dan
membuatku merasa pedih. Setiap kali aku masuk kamar setelah dari tempat kerja,
lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur, aku kembali menangis. Mungkin terlalu
lelah berjalan dari pangkalan angkot menuju rumah kosku. Kosku berada di daerah
Penfui, Naikoten, yang mana jauh dari kota. Sehingga ke mana-mana aku harus
naik ojek atau angkot yang tarifnya tak murah. Untuk sekali jalan menuju ke
kota, tarif naik ojek berkisar 20-30 ribu. Itupun harus berjalan kaki menuju
pangkalan ojek atau angkot melawan teriknya matahari di daratan Timor. Di kota
asalku, aku tak perlu repot-repot berjalan kaki begitu jauh, aku punya
kendaraan pribadi yang bisa mengantarku kemana saja kapanpun aku mau. Kalaupun
aku malas naik kendaraan sendiri, aku bisa memesan ojek atau taksi online yang
tarifnya murah meriah.
Setiap kali aku membuka galeri di handphone
lalu melihat foto dan video keponakan, aku kembali menangis. Aku rindu aroma
tubuhnya yang begitu kusukai. Aku rindu matanya yang sipit. Aku rindu suara
celotehannya. Ia begitu manja padaku. Begitu kugendong, ia tak mau turun, ia
malah semakin menaikan tubuhnya ke tubuhku setiap kali aku hendak menurunkannya.
Setiap kali makan, aku selalu teringat
nikmatnya makanan di rumah. Entah bagaimana, lidahku tidak cocok untuk makan
masakan NTT. Lidahku yang sangat jawa ini terbiasa untuk makan masakan berbumbu
kuat, sedang masakan di kota ini tak begitu kuat, cenderung hambar. Sedangkan
di kota asalku, begitu aku bangun tidur, masakan ibu sudah siap saji. Kalaupun
aku bosan makanan rumah, aku bisa dengan mudah memesan makanan enak melalui
aplikasi online dengan harga murah. Atau aku bisa makan di luar bersama
teman-teman sambil bercengkerama panjang lebar lalu tertawa terbahak-bahak.
Selalu beginikah orang yang jauh dari rumah?
Menjadi jauh begitu rapuh dan cengeng dari biasanya? Sementara teman-teman di
kampung halaman tak kunjung lelah untuk memintaku pulang. Mereka kerap menanyakan
kondisiku, apakah aku sudah makan, makan apa aku hari ini, bagaimana
pekerjaanku, bagaimana orang-orang di Kupang. Mereka begitu mengkhawatirkan
keadaanku meski berkali-kali aku berkata aku baik-baik saja, tidak ada yang
harus dikhawatirkan.
Hingga suatu ketika, obrolanku dengan seorang sahabat melalui Whatsapp menggoyahkan rencana hidupku.
“Pulanglah, Mario. Aku nggak ikhlas kamu di
sana. Aku kasian liat kamu tersiksa setiap hari. Pulanglah, please.”
“Aku bahkan belum sebulan di sini. Ini mungkin
baru masa adaptasi.”
“Adaptasi nggak harus semenyiksa ini, Mario.
Kamu lama-lama kurus. Setiap hari nangis, makan nggak cocok. Pulang aja, ya?”
Lalu aku mulai memikirkan kata-katanya. Ya
Tuhan, haruskah aku kembali secepat ini? L
Comments
Post a Comment