My brain is a time machine
“Oh, iya, Mas. Dulu mamah pernah buka salon di daerah Kalasan, aku punya banyak temen di sana. Gimana kabar mereka sekarang ya?” tanyaku pada saudara sepupu saat kita berdua tengah menikmati es krim pankuk khas Semarang di daerah Jalan Pemuda. Kemudian mataku menerawang, berusaha mengingat-ingat wajah-wajah teman kecilku belasan tahun silam.
“Kamu tahu Putri?”
“Tahu dong! Putri adeknya Lintang kan? Yang kecil putih itu?”
“Sekarang dia udah jadi artis. Aku nggak nyangka,”
“Hah? Artis?” aku terperangah dan seketika menatap wajah sepupuku.
“Iya, artis. Kemarin jadi finalis miss Indonesia. Aku juga nggak nyangka,”
Kemudian dengan sekejap kepalaku penuh terisi dengan memori masa kecil. Ingatanku selalu tajam apabila berbicara tentang masa lalu. Saat itu tahun 2001, aku masih berusia tujuh tahun. Keluarga kami masih hidup serba kekurangan. Kemudian ibu memutuskan untuk mengontrak sebuah toko di pinggir jalan untuk membuka salon. Setiap hari setelah menjemputku dari sekolah, ibu selalu membawaku ke salon. Tak lama, aku sudah akrab dengan anak-anak di sekitar salon tersebut.
Bahkan hingga kini aku masih mengingat wajah dan nama-nama mereka. Rumah di belakang salon adalah rumah pemilik kontrakan, aku mengenal Nali yang bertubuh gemuk dan sepupunya Tami yang bertubuh kurus dan tinggi. Di sebelah kiri salon terdapat rumah mewah dan besar lengkap dengan kolam renang milik seorang pendeta kaya raya asal Manado yang memiliki seorang anak laki-laki yang nakal dan berkali-kali tidak naik kelas bernama Ado. Di sebelah kanan salon adalah rumah Glory, Yoko, Merlyn, dan Jordan, anak-anak keturunan Chinese asal Ujung Pandang. Glory adalah seorang gadis kecil berambut panjang yang berkulit putih bersih dan bermata sipit, seperti gadis keturunan Chinese pada umumnya. Ia setahun lebih tua dariku. Aku menyukainya. Suatu kali aku pernah berhasil memeluknya dari belakang untuk mengagetkannya, pelukan yang membuatku terbayang-bayang saat itu. Kemudian aku mengenal Putri dan kakaknya Lintang, yang kerap datang untuk bermain dengan kami. Tepat di seberang salon adalah sebuah lapangan yang besar, kami biasa bermain kasti di lapangan itu ketika hari mulai sore. Ketika terik di siang hari, kami bermain di dalam rumah untuk bersama-sama bermain monopoli, kartu, atau menonton televisi. Masih jelas pula di memoriku ketika kami tampil menyanyi bersama di gereja pada hari Natal. Saat di perjalanan, kaki kakakku tersangkut pada jari-jari roda motor sehingga kakakku tampil dengan kaki penuh perban.
Di tahun 2002. Ibu tidak lagi bekerja di salon. Semenjak itu pula aku tak pernah lagi bertemu dengan anak-anak itu dan tak pernah tahu kabar mereka hingga saudara sepupuku datang dan memberitahu kabar mengenai Putri yang kini sudah menjadi model. Bahkan ketika aku mengetikkan namanya di mesin pencarian pun bisa dengan mudah kudapatkan fotonya dari beragam pose. Kuamati wajahnya dengan seksama. Ternyata kini ia tumbuh menjadi wanita dewasa bertubuh tinggi menjulang. Wajahnya berubah banyak. Namun hidungnya yang pipih dan mancung itu masih sama. Bibirnya yang tipis dan merah muda itu pun masih sama. Dahulu, ketika Putri dan kakaknya sedang tak bersama kami, kami sesekali membicarakan ibu mereka yang telah dikenal mengalami sakit jiwa di daerah itu.
Jalan hidup memang tidak bisa ditebak, 16 tahun silam, kami merajut hari bersama sebagai seorang bocah yang bermain monopoli hampir setiap hari. Kini ia telah merajut kehidupan sebagai seorang model. Sepertinya kini kami tengah bermain dengan monopoli kehidupan.
Kita tidak pernah tahu orang-orang yang setiap hari kita temui akan menjadi seperti apa di masa mendatang. Tak menutup kemungkinan di tahun-tahun yang akan datang aku akan kembali tercengang mendengar kabar kesuksesan dari orang-orang yang saat ini kutemui setiap hari.
Suatu saat nanti ketika ternyata takdir mempertemukan aku kembali dengan teman-teman masa kecilku, kuyakin mereka sudah tidak mengenaliku. Wajahku telah berubah banyak, namun setidaknya alis dan rambutku masih tebal dan hitam, masih sama seperti dulu.
4 Juli 2017
“Kamu tahu Putri?”
“Tahu dong! Putri adeknya Lintang kan? Yang kecil putih itu?”
“Sekarang dia udah jadi artis. Aku nggak nyangka,”
“Hah? Artis?” aku terperangah dan seketika menatap wajah sepupuku.
“Iya, artis. Kemarin jadi finalis miss Indonesia. Aku juga nggak nyangka,”
Kemudian dengan sekejap kepalaku penuh terisi dengan memori masa kecil. Ingatanku selalu tajam apabila berbicara tentang masa lalu. Saat itu tahun 2001, aku masih berusia tujuh tahun. Keluarga kami masih hidup serba kekurangan. Kemudian ibu memutuskan untuk mengontrak sebuah toko di pinggir jalan untuk membuka salon. Setiap hari setelah menjemputku dari sekolah, ibu selalu membawaku ke salon. Tak lama, aku sudah akrab dengan anak-anak di sekitar salon tersebut.
Bahkan hingga kini aku masih mengingat wajah dan nama-nama mereka. Rumah di belakang salon adalah rumah pemilik kontrakan, aku mengenal Nali yang bertubuh gemuk dan sepupunya Tami yang bertubuh kurus dan tinggi. Di sebelah kiri salon terdapat rumah mewah dan besar lengkap dengan kolam renang milik seorang pendeta kaya raya asal Manado yang memiliki seorang anak laki-laki yang nakal dan berkali-kali tidak naik kelas bernama Ado. Di sebelah kanan salon adalah rumah Glory, Yoko, Merlyn, dan Jordan, anak-anak keturunan Chinese asal Ujung Pandang. Glory adalah seorang gadis kecil berambut panjang yang berkulit putih bersih dan bermata sipit, seperti gadis keturunan Chinese pada umumnya. Ia setahun lebih tua dariku. Aku menyukainya. Suatu kali aku pernah berhasil memeluknya dari belakang untuk mengagetkannya, pelukan yang membuatku terbayang-bayang saat itu. Kemudian aku mengenal Putri dan kakaknya Lintang, yang kerap datang untuk bermain dengan kami. Tepat di seberang salon adalah sebuah lapangan yang besar, kami biasa bermain kasti di lapangan itu ketika hari mulai sore. Ketika terik di siang hari, kami bermain di dalam rumah untuk bersama-sama bermain monopoli, kartu, atau menonton televisi. Masih jelas pula di memoriku ketika kami tampil menyanyi bersama di gereja pada hari Natal. Saat di perjalanan, kaki kakakku tersangkut pada jari-jari roda motor sehingga kakakku tampil dengan kaki penuh perban.
Di tahun 2002. Ibu tidak lagi bekerja di salon. Semenjak itu pula aku tak pernah lagi bertemu dengan anak-anak itu dan tak pernah tahu kabar mereka hingga saudara sepupuku datang dan memberitahu kabar mengenai Putri yang kini sudah menjadi model. Bahkan ketika aku mengetikkan namanya di mesin pencarian pun bisa dengan mudah kudapatkan fotonya dari beragam pose. Kuamati wajahnya dengan seksama. Ternyata kini ia tumbuh menjadi wanita dewasa bertubuh tinggi menjulang. Wajahnya berubah banyak. Namun hidungnya yang pipih dan mancung itu masih sama. Bibirnya yang tipis dan merah muda itu pun masih sama. Dahulu, ketika Putri dan kakaknya sedang tak bersama kami, kami sesekali membicarakan ibu mereka yang telah dikenal mengalami sakit jiwa di daerah itu.
Jalan hidup memang tidak bisa ditebak, 16 tahun silam, kami merajut hari bersama sebagai seorang bocah yang bermain monopoli hampir setiap hari. Kini ia telah merajut kehidupan sebagai seorang model. Sepertinya kini kami tengah bermain dengan monopoli kehidupan.
Kita tidak pernah tahu orang-orang yang setiap hari kita temui akan menjadi seperti apa di masa mendatang. Tak menutup kemungkinan di tahun-tahun yang akan datang aku akan kembali tercengang mendengar kabar kesuksesan dari orang-orang yang saat ini kutemui setiap hari.
Suatu saat nanti ketika ternyata takdir mempertemukan aku kembali dengan teman-teman masa kecilku, kuyakin mereka sudah tidak mengenaliku. Wajahku telah berubah banyak, namun setidaknya alis dan rambutku masih tebal dan hitam, masih sama seperti dulu.
4 Juli 2017
Comments
Post a Comment