If you tired of your work, please remember this, Mario
Seperti biasa, aku pulang larut malam hari ini. Setelah jarum jam tepat menunjuk ke angka 00.30 pagi, kututup aplikasi pada layar komputer, lalu mengemasi barang-barangku. Sambil berjalan keluar kantor aku memberi salam perpisahan pada teman-teman kantor yang rata-rata lebih tua dariku. Aku yang paling muda di antara para pekerja laki-laki di sini. Mereka bekerja keras untuk menghidupi anak dan istri, merelakan malam-malam mereka untuk tak menemani istri di rumah, aku seharusnya bersyukur, aku bekerja keras hanya untuk menghidupi diri sendiri. Ketika berkumpul bersama mereka, kami memperbincangkan keluarga, sedang aku yang muda hanya mendengarkan dan mempelajari pengalaman mereka.
“Kamu bersyukur masih bujang, nikmatilah. Banyak hal-hal yang harus direlakan ketika kamu sudah menikah,” begitu kata mereka.
Selama bekerja di sini, aku belajar banyak. Kebiasaan untuk bersikap halus dan sopan kepada customer sedikit banyak telah mengubah kepribadianku pula untuk lebih halus. Berkumpul dan bersahabat dengan yang lebih tua juga sedikit banyak telah mengubahku menjadi lebih dewasa dalam bersikap maupun berpikir. Sela-sela waktu bekerja yang kami manfaatkan untuk mengobrol telah menjadikan persahabatan dengan teman-teman di kantor ini semakin erat. Kami mengobrol dan tertawa terbahak-bahak, lupa bahwa kami sedang bekerja.
Aku masuk lift dan turun ke lantai dasar seorang diri. Kusandarkan tubuhku yang letih pada dinding lift, lalu melihat bayangan diriku yang terpantul di depanku. Bayangan seorang pekerja muda berkemeja putih dengan rambut acak-acakan. Aku terpana sejenak, benarkah itu diriku? Wow. Aku benar-benar nampak seperti seorang pekerja. Setahun dua tahun yang lalu, aku adalah sesosok mahasiswa kere. Aku tak pernah punya uang. Orang tua jarang memberi uang saku, entah apa tujuannya. Mungkin mereka ingin membentukku supaya tidak menjadi manusia manja. Aku pun tak berani meminta. Aku hanya meminta hanya pada saat benar-benar membutuhkan.
Dari luar, mungkin mereka yang melihat tak menyangka betapa miskinnya aku. Suatu kali aku pernah membolos kuliah. Bukan karena aku sedang malas, bukan karena aku tertidur, bukan juga karena aku belum mengerjakan tugas. Tapi karena aku tak punya uang untuk membeli bensin.
Suatu kali sepulang kuliah pada sore hari, aku langsung menuju stasiun radio tempat aku bekerja sebagai penyiar. Saat itu aku begitu lapar sedang di dompetku hanya ada beberapa lembar uang ribuan yang hanya cukup untuk membeli beberapa pisang goreng. Aku bekerja hingga malam hanya dengan makan pisang goreng. Mungkin aku terdengar sebagai penyiar yang ceria, selalu gembira, dan ramah di telinga para pendengar, padahal yang sebenarnya terjadi ialah sang penyiar tengah berjuang menahan rasa lapar.
Pun tak ada orang yang tahu, bahwa aku pernah menjual handphone hanya untuk membeli bensin. Tak ada orang yang tahu pula, bahwa aku pernah menjual baju-baju hanya untuk menemui kekasihku yang saat itu tinggal di kota tetangga. Ayahku memiliki usaha dengan banyak pekerja, tiap bulannya ia menggaji pekerja-pekerja itu. Tak ada yang menyangka bahwa anaknya hidup sedemikian melarat.
Kini apabila aku mengingat pengalaman-pengalaman itu aku hanya bisa merasa geli dan tersenyum sendiri. Pengalaman hidup yang membuatku bersyukur. Bersyukur di usia 20 tahun aku sudah berjuang sedemikian keras mencari uang untuk diri sendiri. Di saat rasa letih datang mendera di tengah-tengah melayani pelanggan, ingatlah masa-masa itu. Kini keadaan banyak berubah, aku bisa mencukupi kebutuhanku sendiri dan membeli apapun yang ku mau. Aku tak perlu menjual handphone atau baju-baju kesayanganku lagi.
Jika dipikir-pikir, bagian hidup yang mana lagi yang tidak bisa disyukuri?
Terimakasih, Tuhan.
“Kamu bersyukur masih bujang, nikmatilah. Banyak hal-hal yang harus direlakan ketika kamu sudah menikah,” begitu kata mereka.
Selama bekerja di sini, aku belajar banyak. Kebiasaan untuk bersikap halus dan sopan kepada customer sedikit banyak telah mengubah kepribadianku pula untuk lebih halus. Berkumpul dan bersahabat dengan yang lebih tua juga sedikit banyak telah mengubahku menjadi lebih dewasa dalam bersikap maupun berpikir. Sela-sela waktu bekerja yang kami manfaatkan untuk mengobrol telah menjadikan persahabatan dengan teman-teman di kantor ini semakin erat. Kami mengobrol dan tertawa terbahak-bahak, lupa bahwa kami sedang bekerja.
Aku masuk lift dan turun ke lantai dasar seorang diri. Kusandarkan tubuhku yang letih pada dinding lift, lalu melihat bayangan diriku yang terpantul di depanku. Bayangan seorang pekerja muda berkemeja putih dengan rambut acak-acakan. Aku terpana sejenak, benarkah itu diriku? Wow. Aku benar-benar nampak seperti seorang pekerja. Setahun dua tahun yang lalu, aku adalah sesosok mahasiswa kere. Aku tak pernah punya uang. Orang tua jarang memberi uang saku, entah apa tujuannya. Mungkin mereka ingin membentukku supaya tidak menjadi manusia manja. Aku pun tak berani meminta. Aku hanya meminta hanya pada saat benar-benar membutuhkan.
Dari luar, mungkin mereka yang melihat tak menyangka betapa miskinnya aku. Suatu kali aku pernah membolos kuliah. Bukan karena aku sedang malas, bukan karena aku tertidur, bukan juga karena aku belum mengerjakan tugas. Tapi karena aku tak punya uang untuk membeli bensin.
Suatu kali sepulang kuliah pada sore hari, aku langsung menuju stasiun radio tempat aku bekerja sebagai penyiar. Saat itu aku begitu lapar sedang di dompetku hanya ada beberapa lembar uang ribuan yang hanya cukup untuk membeli beberapa pisang goreng. Aku bekerja hingga malam hanya dengan makan pisang goreng. Mungkin aku terdengar sebagai penyiar yang ceria, selalu gembira, dan ramah di telinga para pendengar, padahal yang sebenarnya terjadi ialah sang penyiar tengah berjuang menahan rasa lapar.
Pun tak ada orang yang tahu, bahwa aku pernah menjual handphone hanya untuk membeli bensin. Tak ada orang yang tahu pula, bahwa aku pernah menjual baju-baju hanya untuk menemui kekasihku yang saat itu tinggal di kota tetangga. Ayahku memiliki usaha dengan banyak pekerja, tiap bulannya ia menggaji pekerja-pekerja itu. Tak ada yang menyangka bahwa anaknya hidup sedemikian melarat.
Kini apabila aku mengingat pengalaman-pengalaman itu aku hanya bisa merasa geli dan tersenyum sendiri. Pengalaman hidup yang membuatku bersyukur. Bersyukur di usia 20 tahun aku sudah berjuang sedemikian keras mencari uang untuk diri sendiri. Di saat rasa letih datang mendera di tengah-tengah melayani pelanggan, ingatlah masa-masa itu. Kini keadaan banyak berubah, aku bisa mencukupi kebutuhanku sendiri dan membeli apapun yang ku mau. Aku tak perlu menjual handphone atau baju-baju kesayanganku lagi.
Look at my happy smile :) |
Jika dipikir-pikir, bagian hidup yang mana lagi yang tidak bisa disyukuri?
Terimakasih, Tuhan.
Comments
Post a Comment