Antara Customer Service dan Dosen Feminis
“Kayaknya aku mau resign aja...” desahku pada teman kantor yang saat itu kubikel kita bersebelahan.
“Kenapa?!” tanyanya terkejut.
“Aku pengen kuliah lagi. Kalo aku tetep kerja di sini, aku nggak ada waktu buat ngurusin kuliah. Aku mau fokus.”
“Damn. No, Mario. You can’t do that. Kamu nggak boleh resign!” katanya dengan suara tinggi. “Mario, kalo kamu resign, siapa lagi nanti yang bakal aku curhatin? Siapa lagi yang aku tunggu-tunggu kehadirannya ketika bekerja?”
“Hahaha, we still can meet. Aku nggak kemana-mana. Masih di Semarang aja.” Ucapku geli. Sama halnya seperti di perkuliahan, di kantor ini, aku juga dekat dengan para perempuan. Mereka tak segan-segan menceritakan segala masalah pribadinya kepadaku, mulai dari kehidupan keluarga, percintaan, dan lainnya. Celah-celah waktu selama bekerja seolah adalah sesi curhat, dan kita akan mengobrol tanpa henti. Setiap kali aku berjalan memasuki ruangan kantor untuk menuju kubikelku, mereka menyapa dan memanggil namaku dengan ceria. Apabila aku benar-benar akan resign dari sini, tak bisa kubayangkan betapa pilu hatiku setiap kali aku mengingat hal ini.
Suatu kali aku pernah bertanya pada teman kantor, “Kamu apa nggak risih sih curhat semua masalahmu ke aku? Di sini banyak cowok-cowok, tapi kenapa aku aja yang kamu curhatin?”
“Kamu berbeda, Mario. Kamu nggak kayak cowok lain. Ada sesuatu di diri kamu yang nggak dimiliki cowok lain. Di dunia ini cuma kamu aja cowok kayak kamu. Andai kamu bisa diperbanyak.” Dan aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Aku tak pernah dipuji. Sekali mendapat pujian, aku malah merasa geli dan lucu mendengarnya. Kami begitu dekat, sehingga teman-teman yang lain mengira bahwa kami lebih dari sekadar teman. Setiap kali kami mulai mengobrol, ada saja yang menggoda dengan kalimat, “Ciye duduk sebelahan,” “Ciye makan bareng,” “Udah, kalian jadian aja.”
Setiap kali akan pulang lalu membuka lokerku untuk mengambil barang-barang, tak jarang kudapati makanan yang bukan milikku. Ternyata ia diam-diam memasukan makanan ke dalam lokerku untuk kubawa pulang. “Itu buat kamu, dimakan ya, biar bergizi, biar nggak kurus lagi,” katanya melalui chat, lalu senyum terkembang dari bibirku.
Namun, entah mengapa. Aku ingin kuliah lagi. Aku ingin melanjutkan minatku pada studi mengenai gender. Ketika kuliah, aku begitu tertarik dengan mata kuliah Komunikasi Gender, hingga kemudian aku mengangkat isu gender sebagai kajian skripsiku. Skripsi yang membuatku mempelajari teori-teori gender dan feminis. Yang membuatku kritis serta mengikuti isu-isu gender dan feminis. Aku begitu fasih berbicara mengenai teori-teori gender dan seksualitas, tentang bagaimana Judith Butler berbicara mengenai gender fluid, namun kini aku malah bekerja sebagai Customer Service yang bergelut dengan ilmu tiket pesawat.
Di masa depan, aku akan menjadi seorang dosen feminis. Akan kutularkan teori-teori feminis ke sel-sel otak para anak muda, tentang bagaimana sebagai kaum intelek mereka harus mampu membela kaum-kaum yang termarjinalkan, bukan malah semakin mengopresi. Bicara apa aku ini, bukan kapasitasku untuk berbicara mengenai generasi muda. Kapasitasku adalah berbicara mengenai tiket dan penerbangan, supaya tidak kena komplain penumpang.
Semoga semesta mendengar doa seorang Customer Service yang ingin jadi dosen ini. Sehingga suatu hari nanti aku perlu memperbaiki kalimat greeting ku yang biasanya, “Selamat pagi, perkenalkan saya Mario, Travel Assistant anda saat ini...” menjadi, “Selamat pagi, perkenalkan saya Mario, dosen kalian di mata kuliah ini...”
“Kenapa?!” tanyanya terkejut.
“Aku pengen kuliah lagi. Kalo aku tetep kerja di sini, aku nggak ada waktu buat ngurusin kuliah. Aku mau fokus.”
“Damn. No, Mario. You can’t do that. Kamu nggak boleh resign!” katanya dengan suara tinggi. “Mario, kalo kamu resign, siapa lagi nanti yang bakal aku curhatin? Siapa lagi yang aku tunggu-tunggu kehadirannya ketika bekerja?”
“Hahaha, we still can meet. Aku nggak kemana-mana. Masih di Semarang aja.” Ucapku geli. Sama halnya seperti di perkuliahan, di kantor ini, aku juga dekat dengan para perempuan. Mereka tak segan-segan menceritakan segala masalah pribadinya kepadaku, mulai dari kehidupan keluarga, percintaan, dan lainnya. Celah-celah waktu selama bekerja seolah adalah sesi curhat, dan kita akan mengobrol tanpa henti. Setiap kali aku berjalan memasuki ruangan kantor untuk menuju kubikelku, mereka menyapa dan memanggil namaku dengan ceria. Apabila aku benar-benar akan resign dari sini, tak bisa kubayangkan betapa pilu hatiku setiap kali aku mengingat hal ini.
Suatu kali aku pernah bertanya pada teman kantor, “Kamu apa nggak risih sih curhat semua masalahmu ke aku? Di sini banyak cowok-cowok, tapi kenapa aku aja yang kamu curhatin?”
“Kamu berbeda, Mario. Kamu nggak kayak cowok lain. Ada sesuatu di diri kamu yang nggak dimiliki cowok lain. Di dunia ini cuma kamu aja cowok kayak kamu. Andai kamu bisa diperbanyak.” Dan aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Aku tak pernah dipuji. Sekali mendapat pujian, aku malah merasa geli dan lucu mendengarnya. Kami begitu dekat, sehingga teman-teman yang lain mengira bahwa kami lebih dari sekadar teman. Setiap kali kami mulai mengobrol, ada saja yang menggoda dengan kalimat, “Ciye duduk sebelahan,” “Ciye makan bareng,” “Udah, kalian jadian aja.”
Setiap kali akan pulang lalu membuka lokerku untuk mengambil barang-barang, tak jarang kudapati makanan yang bukan milikku. Ternyata ia diam-diam memasukan makanan ke dalam lokerku untuk kubawa pulang. “Itu buat kamu, dimakan ya, biar bergizi, biar nggak kurus lagi,” katanya melalui chat, lalu senyum terkembang dari bibirku.
Namun, entah mengapa. Aku ingin kuliah lagi. Aku ingin melanjutkan minatku pada studi mengenai gender. Ketika kuliah, aku begitu tertarik dengan mata kuliah Komunikasi Gender, hingga kemudian aku mengangkat isu gender sebagai kajian skripsiku. Skripsi yang membuatku mempelajari teori-teori gender dan feminis. Yang membuatku kritis serta mengikuti isu-isu gender dan feminis. Aku begitu fasih berbicara mengenai teori-teori gender dan seksualitas, tentang bagaimana Judith Butler berbicara mengenai gender fluid, namun kini aku malah bekerja sebagai Customer Service yang bergelut dengan ilmu tiket pesawat.
Di masa depan, aku akan menjadi seorang dosen feminis. Akan kutularkan teori-teori feminis ke sel-sel otak para anak muda, tentang bagaimana sebagai kaum intelek mereka harus mampu membela kaum-kaum yang termarjinalkan, bukan malah semakin mengopresi. Bicara apa aku ini, bukan kapasitasku untuk berbicara mengenai generasi muda. Kapasitasku adalah berbicara mengenai tiket dan penerbangan, supaya tidak kena komplain penumpang.
Semoga semesta mendengar doa seorang Customer Service yang ingin jadi dosen ini. Sehingga suatu hari nanti aku perlu memperbaiki kalimat greeting ku yang biasanya, “Selamat pagi, perkenalkan saya Mario, Travel Assistant anda saat ini...” menjadi, “Selamat pagi, perkenalkan saya Mario, dosen kalian di mata kuliah ini...”
Comments
Post a Comment