My happy quarter life

Kurang dari sebulan, usiaku resmi berganti menjadi 23 tahun.
Kehidupanku kini banyak kuhabiskan di kantor, otakku sesak terisi oleh regulasi tiket, jadwal, dan informasi penerbangan, aku tak punya waktu untuk duduk diam menghadap laptop dan merangkai kata-kata supaya menjadi kalimat yang estetis kala dibaca. Otakku kini buntu, tak mampu lagi merangkai kata, otakku kini banyak kugunakan untuk menghitung penalti dan biaya penambahan untuk melakukan reschedule, reroute, atau refund. Ilmu yang kudapat selama empat tahun di bangku kuliah pun kini menguap entah ke mana.

23 tahun.
Aku tak pernah berpikir akan menjadi setua itu.
Kini aku adalah manusia dewasa yang kerap kubayangkan di masa kecilku dulu yang ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Di usia yang sudah matang dan tua ini, aku ingin hidup bahagia, tak ingin terlalu banyak tuntutan serta memikirkan hal yang tidak perlu.

Aku cukup bersyukur dengan kehidupanku saat ini, hidup bersama keluarga yang harmonis, seorang kekasih yang selalu menjadi tempatku berbagi cerita lucu saat melayani pelanggan yang selalu berhasil membuatnya terpingkal, dikelilingi oleh orang-orang baik dan menyenangkan yang senantiasa membuatku selalu ceria.  

Pekerjaan sebagai customer service bukanlah pekerjaan yang dapat dibanggakan, ketika menghadapi pelanggan yang tengah emosi, apa yang mereka katakan? “Saya mau bicara dengan Supervisor kamu, saya nggak mau bicara dengan kamu, saya tau kamu cuma karyawan cere-cere.” Berbekal ilmuku sebagai seorang Sarjana Ilmu Komunikasi, pekerjaan ini tentu bukan pekerjaan yang tepat. Aku seharusnya bekerja sebagai jurnalis, wartawan, atau pekerja di TV, namun aku malah bekerja sebagai objek caci maki bagi orang-orang berduit. Pekerjaan yang tidak hanya menguras emosi, namun juga tenaga. Setiap harinya, aku bisa melayani 60 orang pelanggan, bibirku bicara tanpa henti, dan harus senantiasa terdengar ramah. Namun, entahlah, aku bahagia dengan pekerjaan ini. Aku bahagia bisa membantu orang lain. Aku bahagia dikelilingi oleh teman-teman kerja yang lucu dan baik hati, yang membuat rasa letih sirna entah kemana, berganti dengan tawa dan keceriaan. Merekalah alasanku untuk tetap stay di pekerjaan ini. Seorang teman SMA yang tanpa sengaja melihatku bekerja bertanya padaku, “Pekerjaan kamu berat tapi kenapa kamu kelihatan bahagia sih? Ketawa-ketawa mulu di kantor.” Aku tertawa terpingkal mendengar ucapannya. Itu karena atmosfer pekerjaannya yang menyenangkan. Tanpa mereka, mungkin aku tidak akan bertahan lama bekerja di sini. Bagaimana bisa? Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang penuh dengan resiko. Mereservasikan tiket harus memperhitungkan berapa lama penumpang akan stay, dan harus ditentukan perhitungan kelasnya. Melakukan reschedule harus memperhitungkan selisih waktu reschedule dengan jam keberangkatan lalu dikalikan dengan persentase penaltinya, kemudian harus dikonversikan menjadi rupiah apabila ia membayar dengan mata uang lain, dan masih banyak lagi regulasi lain yang tidak boleh terlupakan. Sekali lalai, salah hitungan menjadi akibatnya, lalu tunjangan tidak akan diterima secara penuh. Aku pun juga harus merelakan waktu tidur malamku menjadi waktu bekerja, serta merelakan hari weekend yang seharusnya berkumpul dengan keluarga menjadi hari melayani pelanggan.

Entahlah, mampu bertahan berapa lama lagi aku bekerja di sini. Kehidupan terus bergulir, aku tidak selamanya muda dan melajang, aku tidak hanya akan menghidupi diri sendiri, aku harus mencari pekerjaan yang lebih baik. Namun untuk saat ini, aku cukup bahagia dengan apa yang kupunya.

Happy 23, Mario!
2 may ‘17

Comments

Popular posts from this blog

Bulan Kesepuluh di Tahun 2024

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

Kamu Pasti Bisa, Mario!