A little thing called happiness

Suatu ketika aku tengah duduk terpekur melayani reservasi di kubikelku ketika seorang security berbadan tinggi besar berdiri tepat di belakangku.

“Kenapa, Pak?” tanyaku ketika agak senggang.

“Mas Mario ada tamu nungguin di bawah,”
Karena sedang berkonsentrasi melayani pelanggan maka aku tak sempat bertanya lebih jauh, aku kembali pada layar monitorku untuk menyelesaikan reservasi. Setelah reservasi usai buru-buru aku mendatangi pos security.

“Siapa Pak yang nungguin?” tanyaku penasaran.

“Nggak tahu siapa, saya cuma nerusin info dari security yang di bawah,”

“Oke, makasih ya, Pak,” sahutku sambil buru-buru keluar ruangan lalu memencet tombol lift. Kira-kira siapa yang malam-malam begini mendatangiku ke kantor? Ada urusan apa? Apakah orangtuaku? Ah, ayah dan ibuku bahkan hingga saat ini tidak mengetahui di mana lokasi kantorku. Apakah teman kuliah? Teman SMA? Di saat penasaran begini mengapa lift ini tak terbuka-buka juga. Tak berapa lama lift terbuka, aku masuk lalu memencet tombol Ground, kemudian menyandarkan kepalaku pada dinding lift yang dingin.
Lift berdenting, pintu terbuka, aku melangkah keluar dari lift dan seketika terpaku melihat sosoknya. Rambutnya panjang tergerai, sesekali bergoyang tertiup angin malam. Ia berdiri di sana, menatap ke arahku, kami sama-sama terpaku untuk beberapa saat.

“Lho.. kamu, ngapain di sini? Malem-malem gini?” kalimatku keluar terpatah-patah.

“Malem-malem apa, baru jam delapan, nggak usah lebay, rumahku deket” sahutnya seperti tanpa dosa.

“Ya ampun, kirain siapa lho, bikin deg-degan aja, kenapa nggak bilang-bilang sih kalo mau ke sini?”

“Kan emang sengaja nggak bilang-bilang dulu,” sahutnya sambil memperlihatkan tas plastik yang ternyata daritadi bergelayutan di tangannya. “Nih, kamu makan dulu, belum makan, kan?” Aku memang sempat mengatakan melalui chat beberapa jam yang lalu bahwa aku belum makan dan lupa membawa bekal, tapi aku tidak menyangka bahwa ia akan bertindak sejauh ini. Aku kembali terpaku. Hanya diam dengan mata menerawang. Lalu perlahan-lahan tersenyum lebar.

“Jadi, kamu dateng ke sini mau bawain aku makan?” tanyaku tak percaya.

“Kasian kamu kerja sampe malem nanti kamu pingsan,”
Mendengar jawabannya aku kembali tersenyum lebar lalu meraih tas plastik itu dari tangannya.

“Wah apa nih? Baunya kayak spaghetti ya? Duduk sana aja yuk.” Aku melangkah menuju jajaran kursi kantin yang telah tutup sedang ia berjalan di sisiku.

“Ini aku aja nih yang makan? Kamu ngeliatin aja gitu? Nggak makan sekalian?” tanyaku ketika kini ia sudah duduk di tepat di hadapanku.

“Enggak, aku udah makan tadi. Cepet dimakan, dihabisin, enak nggak?”
Dengan tak sabar aku membuka tempat makan plastik berwarna merah itu, aroma seperti spaghetti bolognaise yang tajam begitu menyeruak, dan benar isinya memang spaghetti. Aku yang telah lapar begitu bernafsu ingin menyantapnya hingga habis tak bersisa.

“Waah, ini kamu yang masak?” tanyaku terkagum-kagum, kuyakin kini mataku berbinar-binar ceria seperti mata anak kecil yang mendapat mainan baru.

“Iya, halah, nggak usah lebay, bikin kayak gini gampang kayak bikin indomie, palingan kamu juga bisa,” sahutnya datar, kontras dengan ekspresiku yang meledak-ledak. Menyebalkan sekali. Kini aku sibuk menyuapkan sesuap demi sesuap ke dalam mulutku sedang ia hanya memperhatikan aku makan. Sambil mengunyah, sesekali aku menatap ke arahnya. Memandang wajahnya yang tampak begitu sempurna di mataku, mata yang lebar dihiasi bulu mata yang lentik serta alis yang hitam.

“Apa sih liat-liat?” tanyanya menggoda.

“Hehe, aku bayangin kamu nyiapin ini semua buat aku. Bayangin kamu masak, terus dateng ke sini malem-malem, makasih ya...” jawabku tulus. Ucapan terimakasih yang benar-benar dari hati, sambil menatapnya dalam.

“Iyaa. Besok lagi mau aku bawain?”

“Nggak usah. Udah, hari ini aja. Besok aku bawa bekal. Nggak usah,”

“Dih, gitu amat nolaknya,” sahutnya dengan wajah pura-pura ngambek. “Udah abis kan? Sana balik kerja,” sambungnya sambil menutup kembali tempat makan yang kugunakan lalu memasukkan ke dalam plastik.

“Nggak mau balik kerja, mau di sini terus aja sama kamu,”

“Ngawur, ini udah hampir setengah jam lho kamu keluar. Udah sana balik-balik!”

“Nggak papa kok telat-telat dikit, masak aku ninggalin kamu gitu aja. Kamu pulang dulu baru aku naik lagi.” Bohong. Profesiku adalah profesi yang tidak dapat menolerir keterlambatan satu menitpun. Namun aku tak sampai hati meninggalkannya begitu saja.

“Halah, apa bedanya. Yaudah aku pulang dulu ya,” sahutnya sambil berdiri lalu berjalan menuju motornya.

“Iyaa ati-ati lho, makasih yaa,” jawabku sambil mengaitkan tas plastik pada kaitan motornya.

“Iya, cepet masuk lift!” aku tak akan masuk lift sebelum ia hilang dari pandangan. Aku tak akan menyia-nyiakan sedetikpun kesempatan untuk dapat memandangnya. Setelah memastikan ia hilang dari pandangan, aku kembali masuk ke lift dan naik ke lantai lima dengan perasaan bahagia yang begitu membuncah dari dalam dada. Hingga kemudian aku tersadar, kapan terakhir kalinya aku merasakan kebahagiaan seperti ini? Sepertinya sudah lama sekali.
***

Di kantor ini, berita baru selalu tersiar dengan cepat seperti angin topan. Bibir para customer service sepertinya memang memiliki kemampuan khusus dalam berbicara. Esok siangnya ketika aku baru saja tiba, lalu duduk di kubikel dan menyalakan komputer untuk mulai bekerja, aku sudah diganggu oleh suara-suara iseng dari para teman perempuan.

“Ciyee yang pacarnya baru”

“Siapa sih?”

“Itu Mario, kata cowok-cowok semalem dia dibawain makan sama cewek lho”

“Wah abis ini ada yang ngajakin makan-makan”

“Pantesan ya sekarang mukanya jadi cerah ceria merona seperti bunga sakura”

“Kalo dia nggak mau ngasih makan-makan kita minta aja ke mbaknya yang semalem”
Entah kalimat apa lagi yang kudengar dari bibir-bibir di ruangan ini.

“Heh, apa sih, kan abis gajian bisa makan-makan sendiri,” sahutku dengan raut wajah malu-malu yang tak mampu kusembunyikan.

“So sweet lho lagi kerja dibawain makan”

“Mario, nanti kalo dibawain lagi aku minta dong”
Bibir-bibir yang lain mengikuti.

“Heh, heh, udah-udah kerja,” sahutku malu-malu.

Ketika pemilik bibir-bibir itu sudah kembali sibuk dan tenggelam dengan pekerjaan masing-masing, aku tersenyum sendiri teringat ucapan seorang teman ketika dengan tegas aku berkata bahwa tak ingin lagi terlibat dengan hal asmara. Ia berkata, “Kok kamu jadi trauma gini? Saat ini kamu bisa bilang gini, coba deh nanti kalo udah ketemu orang baru kamu bakal berubah pikiran lho,” dan saat itu aku hanya tertawa dan menjawab “Enggak, aku udah capek sama yang namanya cinta-cintaan. Nggak mau lagi. Aku mau sendiri dulu untuk waktu yang lama, entah sampai kapan.”

Setelah memperhatikan keadaan sekeliling, diam-diam aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana, saat itu juga aku mengiriminya pesan, “Kenapa sih ucapanmu selalu bener? Hahaha”

Comments

Popular posts from this blog

Bulan Kesepuluh di Tahun 2024

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

Kamu Pasti Bisa, Mario!