Terimakasih Ayah dan Ibu



Suatu kali ayah mengajak kami sekeluarga untuk makan malam di luar. Kami akan makan malam di sebuah Art Gallery tempat ayah bekerja. Aku girang sekali. Dengan antusias aku mengenakan celana jins panjang kebanggaan, baju berwarna kuning menyala, jam tangan yang apabila ditekan tombolnya akan mengeluarkan nada lagu “Happy birthday to you” serta lampu berwarna-warni, kemudian menyemprotkan parfum pada sekujur tubuh.

Berempat kami menaiki motor, aku selalu senang duduk di depan, lalu menikmati perjalanan sembari merasakan tiupan angin yang menerpa wajah. Apabila asap tebal datang, atau percikan debu dan pasir beterbangan, atau ketika serangga-serangga kecil mulai mengganggu, dengan sigap ayah menutup mataku dengan telapak tangannya.

Art Gallery tersebut merupakan sebuah galeri tempat pemiliknya memamerkan karya-karya seninya, semerbak wangi bunga di mana-mana, wanita-wanita cantik bertubuh tinggi menjulang tersebar pada sudut-sudut ruangan. Ayah baru saja bekerja di tempat ini setelah di-PHK dari pekerjaannya yang lama. Dengan gaji 300.000 rupiah perbulan ayah berusaha sedemikian rupa menyisihkan uang supaya bisa membawa kami makan di tempat semewah ini. Aku memesan nasi goreng, lalu menyantapnya dengan lahap, tidak menyadari bahwa ayah telah kehilangan sisa uang di dompetnya untuk membuatku segirang ini.

Aku selalu memiliki banyak keinginan, aku kerap meminta mainan mobil remote control, sirkuit balap untuk bermain tamiya, skateboard, sepatu roda, sepeda bmx, dan masih banyak lagi. Sedangkan kakakku demikian pendiam, ia tak pernah meminta apapun. Ia hanya suka berdiam diri di kamar untuk menggambar dan mengkoleksi kertas berwarna sambil mendengarkan musik dari kaset pita.

Hari kenaikan kelas tiba, aku naik ke kelas tiga dan meraih ranking satu. Kemudian ayah dan ibu membelikan aku dan kakak sepasang sepatu baru. Kami pergi ke sebuah pasar loak, lalu menghampiri para pedagang sepatu yang berjajar di tepi jalan. Sepatu-sepatu yang dijual di sana adalah sepatu-sepatu setengah pakai, namun ibu memilih untuk membeli sepatu baru untuk kami meski tidak dilengkapi dengan tali sepatu, sehingga kami harus membeli tali sepatu di tempat lain. Sesampai di rumah, tetangga depan rumah memamerkan sepatu baru dengan merk ternama yang baru saja ia beli di sebuah Department Store. Dengan sedih aku masuk ke dalam rumah, lalu mencoba sepatu baru yang dibelikan ibu di pasar loak.

Di hari Natal, kami berkumpul bersama keluarga besar ayah di rumah bude yang demikian luas dengan bangunan yang megah dan menjulang tinggi. Mobil-mobil keluaran terbaru telah berjajar di halaman rumah tersebut, pertanda saudara-saudara telah berkumpul. Ayah memarkirkan motornya di sela-sela mobil dengan berhati-hati supaya motornya tidak menggores cat mobil yang mengkilap itu.

Aku selalu merasa berbeda apabila berkumpul dengan saudara-saudara dari keluarga ayah, mereka semua berkulit putih dan bersih, sedangkan aku hitam. Mereka semua mengenakan baju-baju mahal dengan merk ternama, sedangkan baju yang kupakai dibeli ibu dari pasar. Mungkin karena tampak berbeda itulah bude-bude rutin memberikan uang saku untukku dan kakak, pakaian-pakaian bekas, juga makanan ringan yang hampir kadaluarsa dan berjamur. Jadilah kami tampak seperti orang yang baru saja menerima bantuan dengan karung-karung berisi pakaian dan makanan ringan setiap kali bertamu dari rumah bude.

Suatu kali aku pernah bertanya, “Ibu, mengapa saudara-saudara kita kaya raya sedangkan kita miskin?”
Dan ibu selalu menjawab, “Makanya kamu sekolah yang pinter, biar bisa kaya,”
Dan aku benar-benar ingin menjadi pintar. Setiap kali ibu bekerja untuk memotong atau menyemir rambut di salon kontrakan, aku duduk terpekur di kursi sebelahnya untuk mengerjakan PR. Ibu kerap memarahi hingga aku menangis apabila tak kunjung paham tentang hitungan matematika, sehingga tinta yang ditorehkan pada kertas menjadi kabur karena air mata.

Tahun-tahun berlalu. Keadaan banyak berubah. Kami tak lagi membeli sepatu dari pasar loak, atau baju-baju dari pasar. Kami tak lagi berdempet-dempetan di atas motor untuk bepergian. Gaji ayah tak lagi 300.000 perbulannya. Kami juga tak lagi menerima karung-karung berisi pakaian bekas dan makanan ringan.

Hari wisudaku tiba ketika kakak sedang berlibur di Malaysia bersama suami dan anaknya yang berusia setahun. Padahal aku ingin sekali kami berkumpul sekeluarga lalu foto bersama. Aku merindukan pertengkaran yang selalu terjadi setiap kami bertemu. Tak disangka ternyata bisa juga aku merindukan sosoknya yang selalu ketus. Aku penasaran apakah pertengkaran kami masih berlanjut di saat aku telah menjadi sarjana dan ia telah menjadi seorang ibu.

Terimakasih ayah dan ibu.
Untuk setiap kenangan yang masih terekam dengan jelas di dalam memori otakku.
Mataku selalu berair setiap kali bercerita tentang ayah dan ibu.
Saat ini, ayah dan ibu hanya bisa melihat Malaysia dan Thailand dari setiap foto yang dikirimkan kakak. Suatu saat nanti aku akan membawa ayah dan ibu ke sana. Kita akan bersama-sama melihat Gedung Petronas yang terkenal itu, atau naik tuk-tuk untuk menuju Chatuchak Market, atau berkunjung ke Madame Tussauds Museum yang kata orang hebat itu.
Suatu saat nanti, ayah dan ibu.

8 November 2016









Comments

Popular posts from this blog

Bulan Kesepuluh di Tahun 2024

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

Kamu Pasti Bisa, Mario!