Sop Buntut

“Ayolah, Mas. Kita menikah, Mas janji kan akan bercerai?” erangnya manja sambil membenamkan kepalanya pada dadaku yang bidang. Rambutnya yang panjang terurai menyibakkan semerbak aroma bunga yang kusukai.
“Sabar dulu, Sayang. Kirana sedang hamil. Tunggu sampai dia melahirkan dulu. Bagaimanapun bayi yang ada di rahimnya itu darah dagingku,” ujarku seraya mengusap pundaknya lembut dan memijatnya perlahan.
“Janji ya, Mas. Pramesti ingin segera menikah dengan Mas Dimas. Pramesti mencintai Mas Dimas,” desahnya dengan suara yang selalu membuatku jatuh cinta. Suara khas yang demikian sempurna, seperti perpaduan dari getar senar harpa, gemericik air yang menyejukkan, dan kicauan burung di tanah surgawi. Masih terekam dengan jelas di ingatanku pada hari di mana kita bertemu untuk pertama kalinya...
***
Saat itu, aku dan Kirana istriku mampir di restoran langganan untuk menikmati sop buntut kesukaannya. Kami baru saja pulang dari dokter kandungan. Sudah berhari-hari Kirana selalu merasakan mual dan muntah di pagi hari. Segala jenis makanan dirasanya tak enak, ia hanya mau makan sop buntut dari restoran ini. Malam ini adalah ketiga kalinya kami makan sop buntut. Ternyata dugaan kami berdua benar, sebentuk calon manusia telah hinggap dan bersarang pada rahim istriku.
“Betul kan Mas, Kirana hamil. Kita harus sering-sering makan di sini. Ini bukan Kirana yang minta lho, tapi anakmu, Mas.” katanya di sela-sela menyantap sop buntut dengan lahap.
“Iya, Sayang. Makan yang banyak mumpung di sini. Kamu kan cuma mau makan sop buntut,” ujarku sambil menatapnya lembut. Mengagumi setiap lekuk wajahnya. Akan seperti apakah wajah dari anak yang sedang dikandungnya? Akankah ia mewariskan matanya yang bulat dan bercahaya? Atau hidungnya dengan tulang yang tegas dan menonjol itu? Atau bibirnya yang merah dan merekah sempurna seperti buah ceri?
“Kalau nanti Kirana minta yang aneh-aneh. Badan Kirana jadi melar, malas mandi, kerjaannya cuma tidur-tiduran, muka jadi jelek berjerawat. Mas Dimas masih cinta sama Kirana?”  
“Masih, Sayang. Mas Dimas akan terus mencintai Kirana,” kini aku meraih tangannya lalu kugenggam, merasakan kehangatan yang menguar setiap kali kuusap jemarinya perlahan. Kemudian ia tersenyum bahagia.
Alunan musik yang lembut mulai merambati sudut-sudut ruangan, menjadikan suasana begitu hangat dan romantis. Restoran itu memang terkenal dengan sajian live music yang memanjakan telinga para pengunjungnya. Di atas panggung, terlihat seorang wanita duduk di sebuah kursi bar. Rambutnya yang berwarna kemerahan dan bergelombang itu terurai dan jatuh dengan sempurna. Sesekali ia menyibak ke belakang setiap kali rambutnya itu menutupi wajahnya yang merunduk pada mikrofon. Ia nampak anggun dengan balutan kemeja berwarna merah dipadu dengan rok hitam sebatas lutut. Sedang suaranya yang demikian merdu tengah menyanyikan lagu dari Keith Martin, diiringi oleh suara saksofon yang dimainkan oleh seorang pria berjenggot lebat yang berdiri di sisinya. Sebuah racikan yang begitu sempurna. Setiap hela suara yang dilepaskannya seolah bernyawa, menyihir siapapun untuk bertekuk lutut di hadapannya.
Terpana aku melihatnya, seperti melihat bidadari yang baru saja turun dari mahligai, diiringi oleh cahaya yang menerpa tubuhnya. Sedang Kirana yang duduk di hadapanku meraih tanganku lalu digenggamnya lembut.
Keesokan harinya sepulang bekerja, aku sengaja mampir ke restoran itu untuk membelikan sop buntut kesukaan istriku yang menunggu di rumah. Dan wanita itu kembali di sana, duduk pada kursi bar di atas panggung dengan wajah sedikit merunduk. Kali ini aku dapat menyaksikan wajahnya dengan jelas karena aku sengaja memilih tempat duduk yang dekat dengan panggung. Ia tak begitu cantik, namun menarik. Kulitnya tidaklah putih dan bersih seperti Kirana, kulitnya eksotis dan liat seperti terbakar matahari. Tubuhnya begitu kencang seperti kerap dilatih untuk terus bergerak.
Ia turun dari panggung setelah mendapat hadiah tepuk tangan meriah dari pengunjung setelah ia menyelesaikan Tears in Heaven. Caranya berjalan begitu anggun, rambut panjangnya melambai-lambai setiap kali ia melangkah. Seulas senyuman tak pernah hilang dari wajahnya, membuat siapapun merasa nyaman untuk menatapnya lagi dan lagi. Ia menuju meja bar lalu bercakap-cakap dengan seorang pelayan.
Aku tersadar dari lamunanku setelah seorang pelayan mengantarkan sop buntut pesananku yang telah terkemas rapi, kemudian aku bergegas menuju kasir yang berada di sebelah meja bar untuk membayar. Sedangkan wanita itu masih di sana, bercakap akrab dengan seorang pelayan di meja bar. Kali ini kami begitu dekat, hingga aku dapat mendengar suara derai tawanya. Aku menatapnya, ia menatapku.
“Penampilan yang bagus,” ujarku spontan ketika tatapan kami bertemu di udara.
“Terimakasih,” sahutnya ramah.
“Baru ya di sini? Kok baru lihat,” aku mencoba berbasa-basi.
“Iya. Bapak sering ya makan di sini?”
“Jangan panggil bapak. Saya masih muda, belum bapak-bapak. Saya Dimas,” ujarku sambil mengulurkan tangan di hadapannya. Derai tawanya yang bersahabat kembali terdengar. Ia menyambut uluran tanganku. Tangannya hangat dan lembut. Kami saling menatap sesaat.
“Pramesti...”
Dari sinilah kisah kami bermula. Pada malam-malam berikutnya, sepulang bekerja aku selalu mampir restoran untuk membelikan sop buntut untuk Kirana dan untuk melihat penampilan Pramesti. Aku selalu memilih tempat duduk tepat di depan panggung. Setiap kali Pramesti menyelesaikan lagunya, akulah yang bertepuk tangan paling meriah. Di setiap jeda penampilannya, Pramesti menghabiskan waktu dengan duduk dan mengobrol denganku.
“Mas Dimas sudah menikah?” tanyanya suatu ketika. Aku terdiam sesaat, memikirkan jawaban yang paling tepat.
“Sudah.” Jawabku akhirnya. “Istriku sedang hamil.” Kemudian ia hanya menatapku tanpa mengatakan apapun, lalu kembali ke atas panggung untuk menyelesaikan penampilannya.
***
Aku selalu terlambat pulang ke rumah. Lebih malam dari biasanya. Namun Kirana tak curiga, karena ia tahu bahwa aku selalu mampir ke restoran itu untuk membelikan sop buntut kesukaannya. Kian hari perutnya semakin membusung. Kian hari ia kian antusias bercerita tentang kehamilannya, tentang badannya yang mudah lelah, tentang wajahnya yang mulai dihiasi jerawat, tentang perutnya yang terasa ditendang-tendang, yang kutanggapi dengan secukupnya saja karena terlalu lelah. Begitu sampai rumah aku hanya ingin membersihkan tubuh lalu cepat-cepat tidur.
Ia mencoba bermanja-manja denganku saat hendak tidur. Dari belakang ia memeluk tubuhku yang memunggunginya. Perutnya yang membuncit terasa menyundul punggungku. Ia membelai kepalaku lembut. Menyisir riak-riak rambutku dengan jemarinya.
“Mas Dimas...” bisiknya mesra tepat di telingaku. Masih dengan mata terpejam aku pura-pura telah jatuh tertidur. “I love you...” bisiknya lagi. Biasanya, aku akan membuka mata, lalu membalikkan tubuh untuk berhadapan dengannya, lalu tersenyum dan memagut bibirnya, kemudian ia bersandar di dadaku dan jatuh terlelap dengan nyaman hingga pagi tiba. Tapi saat ini aku begitu lelah, aku hanya ingin tidur untuk terbangun di hari esok, lalu menanti malam tiba untuk berjumpa dengan Pramesti.
***
Malam ini Pramesti tidak tampil, sepulang bekerja aku langsung menuju rumahnya setelah sebelumnya menelepon Kirana bahwa aku akan menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan. Dengan berat hati Kirana mengijinkanku, ia begitu manja akhir-akhir ini. Katanya ia tidak dapat tidur jika tidak kupeluk. Aku pun memeluknya sambil sesekali memijat punggungnya, namun aku membayangkan Pramesti-lah yang tengah kupeluk dan kupijat.
Rasa rinduku yang mendera-dera tidak tertahankan lagi, begitu Pramesti membuka pintu rumahnya aku langsung menyambutnya dengan pelukan yang erat dan lama. Aku rindu kulitnya yang liat, tubuhnya yang padat, rambutnya yang kemerahan, suaranya yang menggetarkan jiwa, aku rindu setiap bagian dari tubuhnya.
            “Mas Dimas, malu dilihat tetangga. Masuk dulu!” protesnya. Alih-alih melepaskan pelukan, aku malah semakin erat memeluk tubuhnya. Setelah puas berpelukan, Pramesti membawaku masuk lalu duduk di ruang tengah. Kami mengobrol, tertawa cekikikan, sambil saling berpelukan mesra seperti sepasang remaja yang saling didera cinta. Hingga kemudian kami saling terdiam, namun saling menatap dengan sinar mata penuh cinta. Entah bagaimana, wajah kami telah begitu dekat hingga dapat mendengar suara desah napas satu sama lain. Bibirnya yang tipis itu kini telah menempel pada bibirku. Semesta seperti membimbing, pada bibir yang saling bertaut, dan pada raga yang semakin menyatu.
***
“Ayolah, Mas. Kita menikah, Mas janji kan akan bercerai?” erangnya manja sambil membenamkan kepalanya pada dadaku yang bidang. Rambutnya yang panjang terurai menyibakkan semerbak aroma bunga yang kusukai.
“Sabar dulu, Sayang. Kirana sedang hamil. Tunggu sampai dia melahirkan dulu. Bagaimanapun bayi yang ada di rahimnya itu darah dagingku,” ujarku seraya mengusap pundaknya lembut dan memijatnya perlahan.
“Janji ya, Mas. Pramesti ingin segera menikah dengan Mas Dimas. Pramesti sayang Mas Dimas,” desahnya dengan suara yang selalu membuatku jatuh cinta. Suara khas yang demikian sempurna, seperti perpaduan dari getar senar harpa, gemericik air yang menyejukkan, dan kicauan burung di tanah surgawi.
Kemudian suara ponsel dari dalam kantong celana yang masih dibiarkan tergeletak di atas lantai itu berdering. Aku melepaskan pelukanku untuk mengambilnya. Tertera nama ibu mertuaku pada layar LCD.
“Halo, Ibu, ada apa malam-malam telepon?”
“Dimas! Di mana kamu? Istrimu melahirkan. Istri sedang hamil tua kok ditinggal-tinggal!” semprotnya.
“Hah? Kirana melahirkan, Bu? Baik Bu, saya ke sana sekarang,” ujarku panik.
“Lanang ora nggenah...” gumam Ibu mertuaku sebelum ia menutup telepon. Lalu aku buru-buru mengenakan celanaku, mengenakan kemeja, mengaitkan kancingnya satu persatu, lalu mencuci muka. Sedang Pramesti juga kembali mengenakan pakaiannya.
“Selamat ya, sudah menjadi bapak. Tak perlu lagi beli sop buntut setiap hari,” katanya kemudian setelah tubuhnya kembali berpakaian. “Jadi setelah ini Mas Dimas akan menceraikan Kirana, kan?”
“Aku pergi dulu, Pramesti” pamitku tanpa menjawab pertanyaannya.
“Kirana sudah melahirkan, jadi kan Mas Dimas menceraikannya?” Pramesti tak menyerah.
“Pramesti,” erangku dengan suara tertahan. “Ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan perceraian...” Lalu aku melenggang meninggalkannya.  
***
“Anakmu laki-laki. Sudah dibawa suster menuju ruangan bayi,” kata ibu mertuaku begitu aku tiba di lorong rumah sakit itu. Rasa bahagia begitu membuncah dari dalam dada. Aku memiliki seorang anak laki-laki. Ia pasti mirip sepertiku. Aku akan mengajarinya bermain sepak bola, bermain layang-layang di pantai, bersepeda di perbukitan. Mataku berkaca-kaca karena terlalu bahagia.
Seorang suster membawaku menuju ruangan untuk bayi yang baru lahir, lalu berhenti pada sebuah box di mana di dalamnya seorang bayi yang begitu mungil tengah terlelap dengan begitu damai. Alisnya tebal sepertiku. Hidungnya mancung seperti Kirana. Bibirnya tipis kemerahan. Ia begitu tampan. 
“Suster, boleh saya menggendongnya?”
“Pak, sebelumnya kami mohon maaf, bayi anda mengalami cacat bawaan,” ujar sang suster sembari membuka lipatan kain yang membalut tubuh anakku. “Ia hanya punya satu kaki...”
Terperangah aku melihatnya. Anakku benar-benar hanya memiliki kaki kanan. Sedang kaki kirinya hanya sebatas lutut. Aku tak kuasa melihatnya sehingga buru-buru keluar ruangan, lalu terduduk lemas dan menangis dengan hancur.
“Sabar Dimas, ini cobaan dari Tuhan.” Ibu mertua mencoba menenangkanku yang menangis sejadinya.
“Di mana Kirana, Bu?” Ibu mertuaku dengan sigap mengantarku ke sebuah kamar di mana Kirana masih terbaring. Kedua matanya terpejam. Perutnya tidak lagi membuncit. Aku duduk di sisi ranjangnya lalu meraih tangannya yang berselang infus. Kuusap kepalanya lalu kucium rambutnya mesra. Perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Ia tersenyum kala melihatku menangis.
“Sudahlah, Mas. Tak apa ia hanya punya satu kaki. Yang penting ia masih punya dua orang tua yang saling mencintai dan selalu ada untuknya,” ujarnya lembut sambil mengusap tanganku. “Kata dokter, yang penting orang tua harus selalu ada untuk mendukung dan membimbingnya...”

Sambil masih menangis, kutatap wajah istriku yang baru saja melahirkan. Ia masih terlihat begitu cantik meski baru saja bertarung dengan maut. Getar-getar cinta yang sempat menghilang kini hadir kembali. Kehangatan kembali menguar di sela-sela jemari tangan kami yang saling bertaut. Suara istriku memang tak seindah Pramesti yang selalu mendapat riuh tepuk tangan setiap kali selesai bernyanyi. Namun suara istriku selalu berhasil meredamkan segala riuh gelisah dalam hatiku.

Comments

Popular posts from this blog

Bulan Kesepuluh di Tahun 2024

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

Kamu Pasti Bisa, Mario!