Ternyata kita bisa juga ya...
4 tahun 23 hari. Waktu yang kubutuhkan untuk
mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi. Aku lulus dengan IPK 3,46. 0,05 lagi
untuk menuju predikat Cumlaude. Membuatku sedikit menyesal tak mengikuti
anjuran seorang sahabat saat itu untuk mengulang satu mata kuliah yang mendapat
nilai C.
“Ayolah Mar, sayang kalo nggak diulang,
mumpung ada waktu. Nanti kamu bisa pake bekas tugas-tugasku yang dulu,” begitu
katanya.
“Enggak ah, udah semester akhir aku mau
nyantai nggak mau banyak pikiran,” Saat itu aku semester 8, aku ingin menikmati
masa semester akhir, tidak ingin terbebani dengan kuliah bersama adik tingkat.
“Tuh kan, coba dulu kamu nurut aku. Kamu
ngulang dapet B pun kamu udah bisa Cumlaude” begitu komentarnya saat mengetahui
jumlah IPK ku. Ya sudahlah, apa boleh buat, menyesalpun kini tiada guna, kini
aku tak lagi punya waktu untuk mengulang mata kuliah C tersebut.
Kini, apabila aku memasukki gedung FISIP. Aku
selalu terbayang saat-saat pertama kali aku menginjakkan gedung ini pada tahun
2012. Pada saat itu aku merasa begitu rendah diri melihat teman-teman
seangkatan yang terlihat begitu hebat dan menonjol. Aku tidaklah sehebat
mereka, kalau bagian dari diriku yang lain menimpali, “Kalau kau tidak sehebat
mereka, kau tidak mungkin ada di sini bersama mereka”, bagian dari diriku yang
lain akan menjawab, “Kau ada di sini bersama dengan mereka karena
keberuntungan.” Bahkan saat itu aku merasa ingin mundur, namun alangkah
sombongnya aku apabila aku benar-benar mundur setelah bertarung dengan ribuan
pesaing di luar sana. Semester demi semester kulalui di gedung ini. Ternyata
menjadi mahasiswa tidaklah semudah yang kubayangkan pada saat SMA, bertarung
dengan tugas dari setiap mata kuliah dengan tenggang waktu yang terbatas. Namun
Tuhan mempertemukanku dengan sahabat-sahabat yang membuat tugas-tugas ini
terlihat menyenangkan, bahkan kini aku merindukan saat-saat kami bergelut
dengan tugas hingga larut malam.
Pada akhir bulan Mei 2016, aku melakukan
sidang proposal skripsi. Pada saat itu aku merasa pesimis, apa betul aku
benar-benar bisa lulus dengan proposal skripsi yang baru saja kupresentasikan
ini. Untuk menuju sidang proposal skripsi saja aku membutuhkan waktu tujuh
bulan. Saat itu aku merasa perjalanan skripsi masih begitu panjang, seolah
belum terlihat setitik cahaya dari suatu lorong yang panjang. Bulan Juni 2016,
teman dekatku melakukan sidang skripsi dan dinyatakan lulus. Mulai dari saat
itu, aku menyadari betapa setiap detik berharga. Aku mulai rajin pergi ke
kampus yang membutuhkan waktu perjalanan 45 menit dari rumah untuk konsultasi
dengan dosen pembimbing meski sang dosen tak selalu ada di tempat, tak jarang
aku kembali pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Aku pun mulai rajin untuk
segera merevisi skripsi setiap kali selesai berkonsultasi tanpa menunda-nunda
seperti sebelumnya. Aku mulai rajin pergi ke perpustakaan fakultas untuk
mencari dan mencatat referensi dari buku-buku. Kini, apabila berkumpul dengan
teman-teman, kami selalu membawa laptop lalu benar-benar mengerjakan skripsi.
Tak seperti sebelumnya, acara mengerjakan skripsi bersama selalu berakhir
dengan wacana dan kami malah mengobrol dengan topik yang tak pernah habis.
Hingga pada suatu hari di pertengahan bulan
September, seorang sahabat dengan wajah yang bersinar berkata, “Mar, aku baru aja di acc Mas Agus!”. Saat itu aku terperangah bahagia, sahabatku akan segera lulus.
Aku yang sedang membawa tumpukan bab 4 untuk diperiksa dosen pembimbing pun
berharap semoga ini adalah tumpukan bab 4 yang terakhir, entah sudah berapa lembar
kertas yang kuhabiskan untuk bab 4 ini.
Aku masuk ke ruang jurusan dan menemukan dosen pembimbingku tengah duduk di meja kerjanya. Dengan sopan aku mendatangi dan tersenyum ke arahnya.
Aku masuk ke ruang jurusan dan menemukan dosen pembimbingku tengah duduk di meja kerjanya. Dengan sopan aku mendatangi dan tersenyum ke arahnya.
“Mbak Tyas, ini bab 4 saya sudah saya revisi,
ini sudah saya print semuanya, Mbak”
“Ya udah, udah kamu revisi sesuai yang saya
omongin kemarin kan? Ya udah segera bikin bab 5 dan abstrak terus cepetan
daftar sidang,” sahutnya tanpa menyentuh tumpukan kertas yang kubawa. Tumben,
biasanya beliau selalu detail membaca setiap halaman, lalu mencoret-coret bagian yang perlu direvisi. “Mario, kamu selalu
kurang detail dan kurang mendalam,” aku sampai bisa menghapal komentar beliau
setiap kali memeriksa draft skripsiku.
“Ha? Jadi saya udah di acc ini, Mbak?” aku
tertegun. Bagaimana bisa aku mendaftar sidang sementara bab 5 sama sekali belum
kukerjakan.
“Iya, lampirannya ya jangan lupa, ada
transkrip ada open coding”
“Iya, Mbak. Makasih ya, Mbak!!” sahutku penuh
semangat. Aku keluar ruang jurusan, para sahabat masih menunggu di sana. “Aku
juga di acc!!” ucapku dengan mata berbinar. Pada hari itu pula, kami
bersama-sama mempersiapkan berkas persyaratan sidang. Dari perpustakaan
Fakultas hingga Universitas untuk meminta surat keterangan bebas pinjam, lalu
mempersiapkan surat keterangan ini itu yang terlalu banyak hingga aku tak mampu
mengingatnya. Saat itu tanggal 15, sedangkan aku harus sudah sidang sebelum
tanggal 30 untuk mengikuti wisuda di bulan Oktober, sehingga aku tak punya
banyak waktu.
“Mar, aku nggak percaya bakal sidang, aku
belum siap sidang,” ucap sahabatku di sela-sela kesibukan kami mempersiapkan
berkas sidang.
“Apa lagi aku, bab 5 aja aku belum, masih ada
lampiran, transkrip wawancara, open coding, daftar isi, kata pengantar,
abstrak, dan lain-lainnya”
“Mar, kita kok bisa sih di acc dosen di hari
yang sama. Kita bakal wisuda bareng, Mar,” ucapnya lagi menahan haru.
“Iya.. ternyata kita bisa juga ya..”
Malamnya, kami sama-sama lembur untuk
menyelesaikan skripsi. Aku tak sempat makan dan mandi untuk merampungkan bab 5,
transkrip wawancara, open coding, abstrak, daftar isi, kata pengantar, dan
halaman persembahan dalam satu malam. Kutahu tubuhku lelah butuh tidur, namun
setiap kali aku tertidur, aku kembali bertemu dengan abstrak dan teman-temannya
di dalam mimpi sehingga aku terpaksa bangun lalu kembali menyalakan laptop.
“Aku nggak bisa tidur, bahkan tidur pun aku
mimpi ketemu abstrak,” ucapku di telepon pada saat kami sama-sama sedang lembur
.
“Sama, aku juga nggak bisa tidur. Daripada tidur
nggak bisa mendingan bangun sekalian nyelesain skripsi,”
Esoknya, kami kembali bertemu di kampus dengan
draft skripsi yang sudah rapi berjilid merah.
“Ternyata kita bisa juga ya...” kami tak
henti-hentinya mengatakan kalimat yang sama, kemudian tertawa
terbahak-bahak.
Aku sidang lebih dahulu. Jumat, 23 September 2016. |
Tiga hari kemudian, ia menyusul di hari Senin, 26 September 2016. |
Lihat, ternyata kita mampu melakukan sesuatu yang semula nampak begitu mustahil. Sampai jumpa pada "Ternyata kita bisa juga ya" selanjutnya..
Comments
Post a Comment