Welcome to The Real World!
Sore ini seorang sahabat perempuan menemaniku
untuk membeli dasi yang akan kupakai pada saat upacara yudisium dan wisuda
nanti. Aku tidak punya banyak dasi. Aku hanya punya seikat dasi yang selalu
kupakai pada setiap acara. Pandanganku tertumbuk pada dasi-dasi bermotif garis
dengan warna-warna yang kalem, mataku menatap satu persatu, memilah dan
menilai. Sedang temanku sibuk dengan untaian dasi-dasi yang ditata pada sudut
ruangan.
“Mar, ini aja nih,” panggilnya sambil tersenyum,
kemudian ia menyodorkanku seikat dasi berwarna kuning menyala dengan gambar
tokoh kartun Spongebob yang tengah tertawa lebar sambil meniup gelembung. Kemudian
seketika aku teringat masa kecilku. Saat aku masih bocah, aku selalu antusias
setiap kali ayah mengajakku untuk membeli dasi. Mataku berbinar-binar menatap ikatan-ikatan
dasi yang berwarna-warni. Dahulu aku selalu menyodorkan dasi dengan gambar
tokoh-tokoh kartun, Tazmania, Tom and Jerry, Sylvester, Casper, namun setiap
kali kusodorkan ayah selalu menggeleng sambil tersenyum. Saat itu aku tak
mengerti, apa yang salah dengan dasi-dasi yang menarik ini. Lihatlah gambar
yang begitu lucu ini. Kemudian dengan kecewa aku kembali menggantung dasi-dasi
lucu itu pada tempatnya lalu bersumpah akan membeli dasi lucu itu saat aku
besar nanti.
Kemudian kini aku menatap seikat dasi
bergambar Spongebob yang disodorkan, “iya kali ya, kan nggak keliatan ketutup baju toga,”. Kemudian kini ia yang tertawa. Kemudian menggantung dasi Spongebob pada
tempatnya semula. Lalu beralih pada tatanan dasi-dasi polos.
“Kamu nggak suka yang polosan gini ya? Bagus
lho, simpel. Sama kemeja warna apapun juga cocok,”
“Nggak suka sama yang polos-polos. Nggak ada tantangannya” sahutku
sekenanya sambil terpaku pada bayangan wajahku yang terpantul di dalam cermin.
“Hmm, sebelum yudisium aku harus potong rambut nih,”
“Halah, nggak usah, gitu aja ganteng kok,”
sambernya sambil menatap rambutku yang terpantul di dalam cermin. “Cepet ih
Mar, keburu ujan”
“How about this one?” tanyaku sambil mengalungkan
pada leherku seikat dasi berwarna biru keabu-abuan dengan corak garis. Ia
menatap bayanganku di cermin. Memperhatikan dengan seksama.
“Bagus...” Katanya. “Mar, kamu udah keliatan
kayak bapak-bapak, deh. Berarti aku udah keliatan kayak ibu-ibu ya?”
“Gapapa, siklus kehidupan, kan udah sarjana”
jawabku sambil berjalan menuju kasir sedang ia berjalan di sisiku. Kemudian aku
teringat beberapa hari yang lalu saat aku dinyatakan lulus. Mereka
menyodorkanku dengan ucapan “welcome to the real world”. Saat itu aku sedang
euforia, sehingga kuanggap ucapan itu sebagai ucapan standar untuk seseorang
yang baru saja lulus kuliah. Apa yang dimaksud “real world”? Dunia yang seperti
apa kah? Apakah selama 22 tahun ini aku tidak hidup di “real world”? Lalu di
dunia yang mana?
Kemudian aku membandingkan diriku dengan
ayahku. Begitu ia lulus kuliah, ia sudah berkelana ke mana-mana, kemudian
mendapatkan pekerjaan, menikahi ibu.. oh tidak, ia menikah dulu baru
mendapatkan pekerjaan, kemudian lahirlah kakak lalu aku. Kami sekeluarga lantas
mengarungi naik turunnya hidup bersama-sama. Kami tidak lantas hidup enak
dengan rumah yang nyaman dan sebuah mobil yang mengantar ke mana-mana. Begitu aku lahir, kami tinggal di rumah
kontrakan semi permanen dengan anyaman bambu, kami tinggal disana sampai aku
berusia enam tahun. Kami sempat punya mobil yang nyaris setiap hari mogok
kemudian ayah menukarnya dengan sepeda motor. Namun aku tak pernah merasa hidup
susah, aku senantiasa merasa bahagia sebagai seorang bocah. Kini aku mengerti
perasaan ayah saat itu. Pasti ia merasa gagal telah membawa istri dan
anak-anaknya ke kehidupan yang melarat, meski begitu ia berusaha tidak
memperlihatkan kemelaratan itu di depan anak-anak. Hingga kemudian kehidupan
kami terus merangkak dan mulai bangkit, kami kembali punya mobil saat aku
berusia 10 tahun. Itukah yang disebut dengan “real world”? Apakah maksudnya
setelah ini aku akan mengarungi naik turunnya kehidupan? Bagaimana apabila aku
tak setangguh ayahku? Bagaimana apabila aku gagal? Bagaimana apabila aku tak
bisa bangkit?
Tidak. Orang tuaku sudah membekaliku dengan
gelar Sarjana, tidak akan kutebus dengan kegagalan. Aku tidak ingin melihat
istri dan anak-anakku kelak hidup susah. Sehingga kelak
ketika aku mengajak anakku untuk membeli dasi, aku akan tersenyum lebar dan
berkata “Good choice. Yes, I will buy this one” setiap kali ia membawakan aku dasi
dengan gambar tokoh kartun kesukaannya.
so, welcome to the real world, Mario!
Smg, 28 Sept ‘16
Comments
Post a Comment