Koko, a Friend from The Past
Namanya Koko, aku tak mampu mengingat nama lengkapnya. Ia terlahir
di bulan Oktober di tahun yang sama dengan tahun kelahiranku. Rumahnya tak jauh
dari rumahku, mungkin hanya beberapa meter. Dahulu, aku kerap menggoda dan
menjahilinya. Melemparinya dengan kerikil, lalu terbahak-bahak. Dan ketika ia
memanggil bapak atau ibunya, aku buru-buru masuk ke dalam rumah. Bapak ibunya
berprofesi sebagai guru. Kuingat bapaknya begitu galak dengan wajah yang nyaris
tanpa senyum, sebentuk wajah yang sungguh tidak ramah. Ia tak segan-segan memarahi
anak-anak yang menggoda Koko.
Dahulu, mengusilinya adalah perbuatan yang menyenangkan, ia
tak pernah marah, malah berperilaku semakin aneh dan lucu ketika diganggu. Ia adalah
seorang anak laki-laki berperawakan kurus dan tinggi, lebih tinggi dariku. Kulitnya
juga putih, tidak hitam sepertiku. Potongan rambutnya selalu pendek dan jabrik.
Raut wajahnya serupa dengan raut wajah anak-anak lain yang sepertinya,
anak-anak dengan down syndrome.
Sore itu pada saat misa berlangsung, pada saat nyanyian Bapa
Kami dilantunkan, dari kejauhan kulihat seorang pria yang menyanyikan Bapa Kami
dengan penuh semangat dengan kedua tangan menengadah, kedua matanya terpejam dengan damai,
seolah menghayati kasih sayang Yesus yang menguar dari setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kuperhatikan
ia dari jauh. Wajahnya begitu tak asing, mengingatkanku akan seorang teman di
masa lalu, yang dahulu sering menjadi korban keisenganku- Koko.
Koko, bagaimana kabarmu. Tahun ini kita sama-sama berusia 22
tahun. Terakhir kita bertemu saat usia kita 12 tahun. Kuingat saat itu suaramu
sudah mulai pecah dan bergetar, sedangkan suaraku masih begitu tinggi. Mungkin
suatu hari nanti kita dapat bertemu, dan saling merasa takjub dengan apa yang
diperbuat oleh waktu atas diri kita masing-masing. Maaf dahulu sering menjahilimu, sering
melemparimu dengan kerikil. Setelah 10 tahun, kusadari bahwa perbuatanku dahulu
begitu kurang ajar dan kurang kerjaan.
Comments
Post a Comment