Malam itu hari Jumat tepat tanggal 27 di bulan Mei tahun 1994, aku tak sabar lagi melihat dunia, kuketuk rahim ibuku untuk mencari jalan keluar serupa lorong dengan cahaya di ujungnya, kuyakin itulah dunia tempat manusia merajut kehidupan.

Dan keluarlah aku dari rahim ibuku yang becek, seseorang membersihkan tubuhku dari darah dan plasenta ibuku. Saat itu aku menangis meraung-raung. Entah menangis karena apa. Tubuhku kebiru-biruan dengan bercak hitam pada perut. Kata ibuku, bercak itu berasal dari karma seekor ular yang ditabraknya tempo hari saat aku masih bersarang di rahimnya.

Waktu berlalu, kutapaki hari demi hari kehidupan di dunia. Aku semakin tumbuh besar. Tubuhku kuat dan sehat. Di manapun aku berada, orang-orang di sekeliling mengomentari rambut dan alisku yang hitam dan lebat. Mataku bulat bercahaya, memancarkan sorot yang lugu.

Tingkahku kalem, tidak nakal dan banyak bergerak seperti anak-anak lain. Aku menyukai suasana yang tenang dan damai, tidak suka keramaian, begitu melankolis. Saat kecil aku suka diam-diam memasukkan mainan temanku ke dalam kaos yang kupakai, aku ingat saat itu pernah mencuri pistol kecil, panah-panahan, dan kembang api.

Masa kecilku banyak kuhabiskan bersama seorang kakak perempuan yang 3 tahun lebih tua dariku. Dalam sehari, kami bisa bertengkar berkali-kali. Kami bisa bertengkar karena apa saja. Bahkan saat berada di atas motorpun kami bisa bertengkar. Saat itu, aku melihatnya sebagai kakak paling jahat di muka bumi. Ia tak segan-segan mencubit, mencakar, memukul. Tak pernah sekalipun aku membalas. Pada suatu malam kami bertengkar, ia mencakar lengan kiriku dengan kukunya yang panjang sehingga mengakibatkan 2 luka gores berjajar yang masih membekas hingga kini. Kusaksikan kulitku terkoyak sehingga terlihat daging berwarna putih, daging putih itu kemudian berwarna merah, lalu mengalirlah darah dari luka itu. Saat tertidur aku terbangun karena kurasakan sesuatu pada lukaku, ternyata ibuku tengah membersihkan lukaku dengan kapas dan alkohol, lalu mengusapnya dengan obat merah. Hingga kini, aku selalu ingin menitikkan air mata apabila mengingatnya. 

Aku begitu mencintai ibuku, aku suka sekali memeluk tubuhnya, aku menyukai saat kulitnya yang hangat bersentuhan dengan kulitku. Saat-saat berada di pelukannya adalah saat-saat di mana dunia begitu indah, saat-saat di mana dunia hanya berisi ketenangan dan kedamaian, tak ada jerit, tak ada air mata.  

Di usiaku kini yang hampir mencapai 22 tahun, aku tak bisa lagi bermanja-manja pada ibuku. Tak bisa lagi aku menyandarkan kepalaku di bahunya ketika aku merasa lelah dengan kerasnya dunia, atau memeluk tubuhnya kala ia terlelap, atau menenggelamkan wajahku pada lemak-lemak di perutnya. Seorang wanita di luar sana telah bersedia menjadi tempat yang nyaman bagi kepalaku untuk bersandar. Pelukannya mengingatkanku akan pelukan ibuku. Begitu nyaman. Begitu hangat. Seolah aku ingin menghabiskan seluruh hidupku di pelukannya, dan menghirup aroma tubuhnya. 

Smg, 5 Maret 2016

Comments

Popular posts from this blog

Bulan Kesepuluh di Tahun 2024

With all her imperfections, she's trying to be perfect for me

Kamu Pasti Bisa, Mario!