Menjadi Dewasa
Siang itu kami bertiga menyantap makanan di sebuah warung
makan sederhana, di antara sinar matahari yang begitu terik, di antara
penantian akan kehadiran dosen pembimbing. Kami makan begitu lahap, namun
akhirnya merasa kenyang dan tak mampu menghabiskan seporsi nasi ayam rica-rica
yang begitu melimpah. Kita sama-sama tak
lagi enggan untuk berkata “yang murah-murah saja” ketika bingung menentukan
tempat untuk makan bersama. Tak lagi enggan untuk berkata “aku tak punya uang”
ketika ajakan untuk bersenang-senang datang. Kita memiliki masalah yang sama, sama-sama
memiliki perasaan enggan, sungkan, dan malu ketika harus meminta receh pada
orang tua.
Ketika perut telah puas terisi, maka kami melanjutkan
obrolan yang lebih serius dan mendalam. Mengobrol dengan para perempuan begitu
menyenangkan, seperti membuka pandangan baru, seperti melihat sesuatu yang sama
dengan kacamata yang berbeda. Kali ini obrolan kami tak seperti biasa yang
penuh dengan tawa, yang selalu menceritakan pengalaman konyol masing-masing dan
kami akan tergelak bersama, yang selalu diselingi dengan gurauan di sela-sela
kalimatnya. Kami berbicara mengenai pernikahan. Ya, pernikahan. Kami sudah
berada pada usia di mana pernikahan merupakan sebuah isu.
Kami bertiga telah memiliki pasangan. Dan ternyata kami telah begitu dewasa. Setahun
yang lalu, aku telah begitu ceroboh menyatakan perasaan yang telah menciderai
persahabatan kami. Namun ternyata kami telah sama-sama melupakan kejadian itu. Kini
kami tak enggan bercerita mengenai pasangan masing-masing, tak enggan
bercerita betapa kami mencintai pasangan masing-masing, tak enggan
memberi saran untuk kelanggengan hubungan dengan pasangan masing-masing.
Kami tidak sedang membicarakan pesta pernikahan yang digelar
dengan meriah, penuh gebyar dan kemewahan. Namun kami sedang membicarakan
hal-hal yang terjadi setelah pesta pernikahan usai, ketika gebyar telah
meredup, ketika dekorasi pelaminan telah dibongkar, ketika para tamu telah
meninggalkan gedung dengan perut kenyang.
Apakah kami mampu membentuk sebuah keluarga yang harmonis
nantinya? Apakah kami mampu berkomitmen dengan sumpah sehidup semati? Apakah kami
mampu membahagiakan pasangan? Apakah kami mampu membeli rumah dan mobil? Apakah
kami dapat memberikan kehidupan yang layak? Apakah kami mampu berbakti pada
orang tua setelah menikah nanti? Apakah kami mampu menjadi bapak atau ibu yang
baik? Dan apakah-apakah lain yang sebenarnya tidaklah semenakutkan itu.
Suatu hari nanti, kami akan melakukan hal yang sama. Makan siang
bersama di sebuah tempat yang tentunya lebih mahal dan lebih bonafit. Dan kami
akan sama-sama bercerita mengenai apakah-apakah yang ternyata telah mempu
terjawab oleh waktu. Dan kami akan mengenang masa-masa di mana kami
mengkhawatirkan apakah-apakah itu, lalu kami akan tergelak bersama.
Comments
Post a Comment