Beda Terima Raport Tahun 2000 dan 2015
Anak-anak kecil itu berlarian menyusuri
lorong sekolah. Sepertinya mereka bukan anak-anak kelas 1. Mereka tampak
terlalu besar untuk murid kelas 1. Kulangkahkan kaki menuju gerombolan anak
perempuan yang seluruhnya berwajah oriental.
“Ruangan kelas 1 C di mana ya, Dek”
tanyaku setelah salah satu dari mereka memandang wajahku.
“Kelas satu di sana!” Gadis oriental itu
menunjukkan tangannya pada jajaran kelas di dekat tangga.
“Oh, makasih ya, Dek,” sahutku sambil
tersenyum. Sejenak aku terhenyak memandangi gadis kecil berkulit kuning langsat
dengan geligi yang berjajar rapi itu. Rambutnya indah tergerai menutupi
lehernya yang jenjang. Sejenak aku mampu membayangkan betapa cantiknya ia kala
dewasa nanti.
Kembali kulangkahkan kakiku, saat ini
menuju jajaran ruangan kelas yang ditunjuk gadis tadi. Dan sesampainya di ruang
kelas 1 C, para orang tua sudah duduk mengantri di depan kelas. Baiklah, aku
yang termuda di sini. Kemudian aku berjalan-jalan untuk melihat sekeliling. Kulongok
sejenak ke dalam ruangan kelas yang di dalamnya terdapat seorang guru yang
duduk berhadapan dengan orang tua murid. Lukisan-lukisan dengan krayon yang
berwarna-warni itu tampak memenuhi dinding. Papan tulisnya putih dan bersih.
Tergantung pula LCD di depannya. Sepertinya jaman sudah berubah. Seketika aku
teringat akan ruangan kelas SD ku dulu, bukanlah tembok yang memisahkan kelas
yang satu dengan kelas sebelah, melainkan triplek tipis. Papan tulis yang
mengenaskan, rusak dan robek di sana-sini. Papan tulis jaman itu masih
menggunakan kapur yang penghapusnya juga digunakan guru untuk melempar murid
yang berisik. LCD? Jangan bercanda, di jaman itu ponsel Siemens dengan antena
yang menjulang itu pun sudah terbilang sangat canggih.
Kini kulemparkan pandanganku pada
sekumpulan anak-anak yang bermain di lapangan di bawah sana, ada yang bermain
basket, ada yang sekadar bermain bola. Lapangan yang bersih dan rapi. Tentu
saja bukan lapangan yang ditumbuhi rerumputan liar tempat ulat bulu berteduh
seperti lapangan sekolahku dulu.
Dan satu persatu orang tua yang
mengantri di luar kelas itu pun masuk. Sudah dekat giliranku. Namun orang tua
yang baru datang pun juga semakin banyak. Baru beberapa menit mereka mengantri,
sudah masuk ke dalam kelas begitu saja. Tak terhitung sudah berapa jumlah orang
tua yang mendahului aku. Namun kubiarkan saja, tak mampu menegur. Mereka lebih
tua dariku, sudah sepatutnya memberi hormat. Aku hanya terdiam dan merenungkan
tentang betapa mengenaskannya budaya mengantri kita saat ini.
Dan satu jam kemudian, suasana di sekolah
ini sudah benar-benar sepi. Tak ada lagi gerombolan anak yang mengobrol di
sudut sana. Tak ada lagi anak-anak yang berlarian menyusuri lorong. Seorang
bapak yang datang setelah aku pun kini telah bersiap pulang dengan raport di
tangannya. Tersisa tiga orang kini di depan kelas. Dua lainnya baru saja
datang, jadi setelah seorang ibu yang kini di dalam kelas itu keluar, maka itu
giliranku.
Dan begitu ibu itu keluar kelas, aku
langsung bangkit berdiri dan bersiap memasukki kelas. Bu guru tersenyum dari
kejauhan. Aku membalas senyumnya. Dengan ramah ia menjulurkan tangan untuk
menyalami begitu aku akan duduk.
“Mau ambil punya siapa?” tanyanya.
“Arya, Bu.”
“Oh, Arya. Mas ini siapanya Arya?”
“Kakaknya, Bu.”
“Oh. Begini, Mas. Jadi Arya itu masih
perlu bimbingan ekstra. Nilainya mepet sekali. Arya harus berjuang lagi supaya
nilainya tidak mepet begini,”
Kuamati nilai yang berderet pada rapot
yang terhampar di atas meja itu. Matematika nilai paling rendah, 65.
“Paling lemah di matematika ya, Bu?”
“Iya, sangat lemah sekali,”
Dan memori kembali menyeruak ke dalam
otakku. Saat aku SD dulu, matematika masih terasa begitu mudah dan
menyenangkan, saat rumus-rumus yang mematikan itu belum digunakan.
“Memang Arya duduknya di mana, Bu? Di
depan atau di belakang?” tanyaku menyelidik.
“Kita pindah-pindah kok, Mas, duduknya.”
“Ohh...”
Karena merasa tak ada sesuatu yang
dibicarakan lagi maka aku segera ingin keluar saja sebelum suasana menjadi
canggung tanpa obrolan. Seusai menyalami Bu Guru, aku berjalan keluar kelas,
lalu menuruni tangga, keluar meninggalkan gedung sekolah. Dahulu SD ku tidaklah
semegah ini. Satu kelas hanya berisi 16 anak. Bukan karena kami murid
internasional yang disaring dengan ketat, tapi karena memang sekolah kami
kekurangan murid. Maklum, aku bersekolah di salah satu SD Negeri di pinggiran
kota Jogja yang kondisinya sangat sederhana, yang bangunan itu pun akhirnya
ambruk akibat gempa yang terjadi pada 27 Mei 2006 itu. Meski sederhana, namun
kami dibesarkan dengan mimpi yang megah. Saat ini kudengar ada dari teman-teman
masa SD ku yang telah diwisuda dari universitas-universitas ternama. Senang mendengarnya.
Dan aku sendiri tumbuh dengan mimpi untuk
pergi ke luar negeri. Mimpi itu bermula saat aku berkunjung ke rumah sepupu dan
membuka album foto. Terpampanglah foto masa kecilnya bersama orang-orang bule
saat ia tinggal di Australia. Pasti menyenangkan bisa tinggal di luar negeri
begitu. Dan sejak itu, aku hidup dengan mimpi-mimpi tentang Australia. Sejak
itu, kamus Bahasa Inggris adalah buku favoritku. “Aku harus bisa berbicara
dalam Bahasa Inggris!” Begitu tekadku saat itu. Masih ingat pula aku selalu
mengunjungi rumah guru Bahasa Inggrisku setiap Sabtu sore untuk belajar Bahasa
Inggris. Miss Veri namanya, ia masih kuliah, rambutnya panjang kecoklatan,
kulitnya putih bersih, bola matanya kebiru-biruan, wajahnya begitu cantik
seperti agak indo, padahal ayahnya seorang petani. Ia begitu baik dan sabar, ia
mengajar tanpa dibayar. Miss Veri, wherever you are, I wish you had a happy
life now..
Dan mengenai adikku, entahlah, mungkin
sebenarnya ia memiliki porsi kecerdasan yang sama denganku. Namun karena ia
bersekolah di sekolah yang mahal, maka ia tak terlihat cerdas. Dan karena aku
bersekolah di sekolah yang sederhana, maka aku terlihat menonjol. Saat SD,
momen terima raport selalu kutunggu-tunggu, karena selalu penasaran dengan
hasilnya. Teringat saat itu, aku telah menunggu di sekolah sejak pagi untuk
terima raport. Karena ayahku belum bangun, maka aku berangkat sendiri.
Berjam-jam menanti ayah, ternyata ia tak datang juga. Dengan gemas aku
bersepeda kembali pulang menyusul ayah, ternyata ia masih berpakaian dengan
santai. Saat itu moodku menjadi buruk, namun saat tertulis peringkat 1 pada
raport, moodku seketika melonjak.
Ibu pasti marah besar begitu melihat
raport adikku, sama ketika ia marah kala peringkat 1 ku turun menjadi peringkat
3. Apabila kelak aku menjadi orang tua, aku tidak akan memarahinya untuk nilai
akademis. Setiap orang memiliki bidang kecerdasan yang berbeda. Kesuksesan
adalah yang dicari dari hidup. Namun sukses tidak hanya bisa ditempuh melalui
nilai akademis. Adikku, sukseslah dengan caramu sendiri...
Semarang, 24 Oktober 2015
Comments
Post a Comment